Monday 23 May 2011

MELURUSKAN LABELISASI ISLAM SEBAGAI AGAMA TERORIS

Pendahuluan
Islam adalah agama sekaligus peradaban . Di dalamnya terdapat berbagai macam aturan yang meliputi setiap aspek kehidupan manusia. Peradaban yang dibangun Islam adalah peradaban yang berkeadaban bukan peradaban yang berkebiadaban. Dalam artian, peradaban yang didasarkan pada tradisi-tradisi keIslaman dan pandangan hidup (worldview) Islam yang telah dibangun oleh para Salafus-Salih berlandaskan kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Di samping itu, Islam juga merupakan agama rahmatan lil’alamin (Q.S. Al-Anbiya: 107) dan sistem hidup (way of life).

Itulah pertama kalinya dalam sejarah agama di dunia, bahwa hanya ada satu agama yang secara harfiah bermakna kedamaian. Kata Islam sendiri memiliki dua konotasi, pertama adalah tunduk dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak dan perintah Allah SWT dan kedua artinya adalah damai. Kedua makna tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini tuduhan buruk terhadap Islam bermunculan seperti suburnya tumbuhan di musim hujan. Salah satu tuduhan tersebut adalah labelisasi Islam sebagai agama teroris. Kemunculan labelisasi ini menjadikan Islam yang sebelumnya dikenal sebagai agama yang mengajarkan kedamaian kesannya berubah menjadi agama yang brutal dan haus darah.

Teror Atas Nama Islam
Kesan mengaitkan terorisme dengan Islam memang sangat kuat dengan penggunaan istilah seperti teroris Islam, Jamaah Islamiyah, militan Islam dan sebutan yang lainnya. Hal ini sangat berbeda jika pelaku terorisme adalah kelompok yang asal usulnya dari luar Islam, seperti IRA di Irlandia atau Macan Tamil di Srilanka. Media, pengamat atau pejabat publik tidak pernah mengaitkan pelaku dengan agamanya seperti penyebutan teroris Kristen atau militan Hindu. Hal ini menunjukkan bahwa ada pihak tertentu yang secara khusus mengarahkan kebenciannya terhadap Islam. Maka benar apa yang disampaikan oleh Sayyed Hossein Nasr bahwa tidak ada agama besar yang kajian tentangnya banyak didistorsikan (diputarbalikkan) di Barat selain Islam.

Apalagi setelah peristiwa 11 September 2001 dengan dihancurkannya World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, yang memakan sekitar 3000 korban. Serangan yang dikenal sebagai “September Kelabu” ini dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Tidak lama setelah kejadian tersebut, tudingan dari pihak Amerika-pun langsung tertuju pada Osama Bin Laden -tokoh Islam yang memiliki pengaruh besar di timur tengah- sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas penyerangan tersebut.

Aksi teror juga berlangsung di Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam bahkan negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Hal itu terbukti dengan terjadinya rentetan pengeboman dalam jangka waktu yang cukup panjang. Bermula, khususnya dengan ledakan bom di depan kediaman Dubes Filipina (1 Agustus 2000), Bursa Saham Jakarta (13 September 2000), serangkaian pengeboman menjelang Hari Natal (Desember 2000), bom Bali I (12 Oktober 2002), ledakan di restoran McDonald Makassar (5 Desember 2002), bom di depan Hotel JW Marriott Kuningan Jakarta (5 Agustus 2004), bom di kafe karaoke di Poso (10 Januari 2004), bom di depan Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), bom di Pasar Tentena (28 Mei 2005) dan bom bunuh diri Bali II (2 Oktober 2005). Penyelidikan pun digencarkan oleh pemerintah melalui kepolisian dan pasukan khusus yang bekerja sama dengan lapisan masyarakat. Pada akhirnya, setelah cukup lama melakukan penyelidikan, mereka-pun berkesimpulan bahwa orang Islamlah yang bertanggung jawab penuh atas terjadinya peristiwa tersebut. Setelah dilakukan investigasi yang sedemikian rumit, akhirnya beberapa pelaku pengeboman pun dijerat pasal anti terorisme. Diantara mereka ada yang mendapat hukuman seumur hidup bahkan ada yang sampai dihukum mati.

Setelah kejadian demi kejadian teror berlangsung cukup lama, tudingan pun tetap diarahkan terhadap Islam sebagai agama penyebar kekerasan dan anti kemanusiaan. Diperparah lagi dengan berita-berita dari berbagai media masa yang menyudutkan Islam. Hal ini menyebabkan Islam tidak lagi sedamai ketika awal kemunculannya. Wajah Islam seakan-akan berubah menjadi menyeramkan. Padahal jika diteliti lebih jauh lagi, citra buruk Islam Ini tidak lain disebabkan oleh pihak-pihak tertentu yang memusuhi Islam. Karena di zaman yang dikenal sebagai perang pemikiran ini (Ghazwul Fikri/Infiltrasi Pemikiran), berbagai cara dilakukan demi memanangkan golongan atau organisasi tertentu. Dalam hal ini, Islam telah menjadi korban dari perang pemikiran, disebabkan kekuatan Islam dalam penguasaan media masa masih tergolong lemah.

Tidaklah mengherankan, jika sejak awal perang melawan terorisme sering bias dengan kepentingan pihak asing, seperti stigmatisasi terhadap ajaran-ajaran Islam terutama jihad. Pelaku pengeboman dan keluarganya dikaitkan dengan penampilan fisik atau simbol-simbol Islam seperti celana isbal (di atas mata kaki), berjenggot lebat, dahi hitam, kaum wanita yang memakai cadar, buku-buku dan majalah Islam sampai stiker bertuliskan seruan jihad. Media masa juga mengekpos para pelaku adalah ustadz, guru agama ataupun alumni dari pondok pesantren. Secara pemikiran (ideologi) para pelaku dinyatakan dari kelompok yang ingin berjuang (jihad) mendirikan khilafah Islam atau syariah Islam.

Stigmatisasi ini kemudian menjadi berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi. Siapapun kelompok Islam yang menentang pihak asing atau ingin berjuang (jihad fii sabilillah), kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Padahal tidak semua kelompok Islam yang berjuang (jihad fii sabilillah) setuju dengan jalan pengeboman atau angkat senjata terhadap rezim pemerintahan yang sekuler (pemisahan antara urusan agama dan pemerintah). Dengan demikian sebagian kelompok Islam yang melakukan pengeboman atas nama jihad disebabkan karena kurangnya kelompok tersebut dalam memahami makna jihad yang sesungguhnya dalam Islam. Oleh karenanya perlu untuk dibedakan antara kedua istilah tersebut –antara teroris dan jihad- agar nantinya bisa jelas dan tidak terjadi pemahaman yang keliru.

Terorisme bukan Jihad
Terorisme merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuwan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah tersebut. Dengan kalimat lain bahwa tidak ada definisi terorisme yang diterima secara universal. Akan tetapi yang jelas dan disepakati, terorisme merupakan sebuah aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak destructive). Dalam English Dictionary sendiri dijelaskan “Terrorism is the use of violence, especially murder, kidnapping and bombing, in order to achieve political aims or to force a government to do something”. Jadi terorisme merupakan istilah yang dipakai dalam kekerasan, khususnya pembunuhan, penyanderaan dan pengeboman untuk meraih tujuan-tujuan politik atau untuk mencegah pemerintah dalam melakukan sesuatu.
Terorisme termasuk ke dalam kekerasan politis (political violence), seperti: kerusuhan, huru-hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara, gerilya, dan juga pembantaian. Karakteristik terorisme politis ini antara lain: a). merupakan intimidasi yang memaksa, b). memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu, c). korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang, yakni “membunuh satu orang untuk menakuti banyak orang”, d). target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah umum, e). pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal, dan f). para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”. Sedangkan definisi dari Tindak Pidana Terorisme itu sendiri sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, P.hD, terorisme merupakan pandangan yang subjektif.

Walaupun sebenarnya pendefinisian terorisme masih kabur dan ganda, akan tetapi pada hakekatnya perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman yang berupa kekerasan. Bentuk perbuatan bisa berupa pengeboman, pembajakan maupun penyanderaan. Sedangkan pelakunya dapat merupakan individu, kelompok, atau negara dengan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan dan perubahan secara radikal.

Sedangkan yang dimaksud dengan jihad dalam Islam berbeda sekali dengan apa yang disebut dengan terorisme. Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad. Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan. Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat yang berperadaban Islami yang bertujuan menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, kata jihad berasal dari “jahada” yang berarti “jahada fil amri” (berjuang dalam suatu perkara). Atau dalam kalimat lain jihad adalah berusaha sampai tujuan yang dimaksud tercapai. Sedangkan makna jihad secara syar’i yaitu memerangi kaum kafir selain kafir dzimmah. Begitu juga yang disebutkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid dan Nihayatul Muqtashid, kata jihad diambil dari kata “al-juhdu” yang berarti berjuang secara sungguh-sungguh. Secara substansial (al-haqiqiyyah) jihad berarti berjuang di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan .

Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha. Menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya. Menurut mazhab Maliki, jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa jihad berarti perang di jalan Allah.

Menurut Abu A’la Almaududi, jihad ialah usaha manusia muslim sekuat tenaga untuk menyebarluaskan kalimatullah dan menjunjung setinggi-tingginya, membuatnya berlaku dan terlaksana di muka bumi dengan menyingkirkan segala perintang, baik melalui kata-kata yang terucap (lisan), kata-kata yang tertulis (pena), maupun dengan kekuatan senjata, dengan tujuan agar manusia hidup penuh dedikasi dan bersedia mengorbankan jiwa raga. Sedangkan menurut Hasan Al-Bana, sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi, menyatakan bahwa jihad adalah salah satu kewajiban muslim yang berkelanjutan hingga hari kiamat, tingkat terendahnya penolakan keburukan dan tertinggi perang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena dan tangan berupa pernyataan tentang kebenaran dihadapan penguasa yang dzalim.

Jihad merupakan madrasah yang hakiki. Ia merupakan jalan yang ada di sisi Allah (Jiwarillah). Ia merupakan tempat yang di dalamnya seorang hamba dapat melihat wajah Allah SWT. Abdullah Ibnu Ahmad Al-Qadiry juga mengemukakan pengertian jihad sebagai “pencurahan kemampuan untuk meraih apa yang dicintai Allah dan menolak apa yang dibencinya. Dalam Al-Qur’an sendiri, kata jihad disebutkan sebanyak 41 kali.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang begitu luas, yaitu: mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain. Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam Al-Quran surat al-Ankabut ayat 6 dan 8 serta surat Luqman ayat 15.

Setelah mengetahui perbandingan antara kedua makna tersebut, maka jelaslah bahwa makna jihad sangat jauh berbeda dengan makna terorisme. Dengan demikian, maka Islam sangat menentang adanya terorisme. Dan labelisasi Islam sebagai agama yang mengajarkan terorisme adalah tidak benar sama sekali. Apalagi bom bunuh diri dengan dalih berjuang di jalan Allah. Orang seperti itu secara tidak langsung berarti ingin mencemarkan nama baik Islam itu sendiri. Karena diharamkannya bunuh diri dalam Islam seperti diharamkannya membunuh orang lain karena sebab permusuhan. Adapun dalil Qath’i yang menegaskan keharaman bunuh diri yaitu Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29-30 “dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.

Di indonesia sendiri, banyak dari kalangan ulama yang menolak penyamaan antara teroris dengan jihad. Sebagaimana yang disampaikan oleh KH Ma’ruf Amin selaku ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahwa tindakan teror sendiri bukanlah merupakan bentuk dari jihad. Pernyataan tersebut juga disampaikan oleh kalangan ulama. Zaim Uchrowi menambahkan bahwa para pelaku teror (bom bunuh diri) merupakan korban yang sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Kesimpulan
Labelisasi Islam sebagai negara teroris hingga kini tetap giat dipropagandakan oleh kalangan tertentu yang memusuhi Islam. Dalam berbagai media masa, mereka akan tetap berpandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan.. Kaum orientalis dan para pengikutnya pun tidak henti-hentinya dalam mengaburkan makna jihad yang sesungguhnya.

Dalam skala yang lebih sempit lagi, kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah yang sekarang terjadi di negeri ini. Semua ini tidak lain dikarenakan faktor kebencian yang ada di hati mereka terhadap Islam. Mereka ingin Islam hancur dan hilang dari muka bumi ini.

Padahal agama Islam tidaklah seperti apa yang mereka pikirkan. Islam merupakan agama kedamaian (Islam is a religion of piece) sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 16. Islam juga merupakan agama yang mengajarkan kepada pemeluknya agar tidak melakukan kekerasan (Islam is a religion which teaches non-violence). Munculnya berbagai macam aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok kecil kaum muslim bukan berarti Islam mengajarkan terorisme yang berujung pada kekerasan. Akan tetapi itu lebih disebabkan dari sebagian kelompok kaum muslim yang salah dalam memahami Islam. Dan kegencaran labelisasi Islam sebagai agama teroris juga dikarenakan dukungan dan peran media yang terus-terusan melihat Islam dari sudut pandang yang sempit.

DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Baqi, Muhammad Fuad. 1991. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadzil-Qur’ani Al-Karim. Kiro: Darul Hadits
Adji, Indriyanto Seno. 2001. Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates
Al-Jundy, Anwar. 1991. Pembaratan di dunia Islam. Bandung: Rosdakarya
Al-Maududi, Abu A’la. 1983. Pokok-pokok pandangan hidup muslim. Osman Ralibi (penerjemah). Jakarta: Bulan Bintang
Al-Qadiry, Abdullah Ibnu Ahmad. 1985. Al-Jihad Fi Sabilillah; Haqiqatuhu Wa Ghayatuhu. Jeddah: Darul Manarah
Khan, Maulana Wahiduddin 1999. Islam and Peace. New Delhi: Al-Risala
Mazhahiri, Husein. 2000. Menelusuri Makna Jihad Dari Sudut Pandang Sampai Kajian Sufistik. Muhammad Abdul Qadir AlKaf (Penerjemah). Jakarta: Penerbit Lentera
Mushthafa, Ibrahim. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. Istanbul-Turki: Al-Maktabah Al-Islamiyyah
Mustofa, A. Drs. H. 1999. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Nasr, Sayyed Hossein. 2003. Islam; Agama, Sejarah Dan Peradaban. Koes Adiwidjajanto, MA (Penerjemah). Surabaya: Risalah Gusti
Qardhawi, Yusuf. 1999. Al-Islam Kama Nu’minu bihi; Dhowabitu wa malamihu. Al-Kohiroh: Nuhdhotu Mishra Lith-Thoba’ah wan-Nassyr wat-Tauzi’
———————. 1980. Pendidikan Islam Dan Madrasah Hasan Al-Bana. Bustami A. Ghani dan Zainal Abidin Ahmad (Penerjemah). Jakarta: Bulan Bintang
Republika, Kamis 23 Juli 2009
————, Jum’at 24 Juli 2009
Ridha, Abu. 1993. Pengantar memahami Ghozwul Fikri. Jakarta: Al-Ishlahy Press
Romli, Asep Syamsul M. 2000. Demonologi Islam; Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam. Jakarta: Gemani Insani
Rusyd, Ibnu. 2003. Bidayatul Mujtahid dan Nihayatul Muqtashid. Beirut: Darul Kutub Al-‘ilmiyyah
Sinclair, John (Editor). English Dictionary; Helping Learners With Real English. 1995. Great Britain: HarperCollins Publisher
Takruri, Mawaf Hail. 2002. Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid. H. M. Arif Rahman Lc dan H. M. Suharsono, Lc (penerjemah). Jakarta Pustaka Al-Kautsar
Wilkinson, Paul. 1977. Terrorism and the Liberal State. London: The Macmillan Press Ltd

No comments: