Wednesday 1 June 2011

PEMIKIRAN FILSAFAT PRA SOKRATES ( Thales, Pythagoras, Anaxagoras)


oleh: Alex Nanang Agus Sifa (tugas mata kuliah filsafat Barat semester 3)
Mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kembali kelairan filsafat.[1] Sejarah filsafat Barat biasanya berpangkal ari filsafat Yunani yang diajukan seagai sumber dari sejarah filsafat, karena dunia Barat atau Eropa khususnya alam alam pikirannya berpangkal pada pikiran Yunani. Di tana Yunani atau setidak-tidaknya di daerah yang dimasukkan ke wilayah Yunani suda sejak lama seelum permulaan tahun masehi para ahli pikir berusaha untuk mencoba memecahkan misteri atau rahasia alam. Mereka ingin mengetahui tentang apakah sebenarnya alam semesta itu? Apakah sebenarnya asal mula alam semesta itu? Apa pula hakikat alam semesta itu?.
Pada masa itu memang ada keterangan-keterangan yang memberikan jawaban tentang alam semesta dengan segala isi dan penghuninya, namun keterangan-keterangan itu eradsarkan kepercayaan, sehingga menimbulkan ketidakpuasan para ahli pikir. Kemudian dengan akal dan pikirannya atau budinya mereka berusaha mencari jawabannya sendiri tentang rahasi alam. Apakah alam itu? Apakah inti sari alam itu? Mungkin yang beraneka warna dalam alam ini dapat dikembalikan kepada yang satu. Mereka ingin mencari inti sari alam dengan istilah mereka penuh teka-teki, ketidak pastian dan kepalsuan. Oleh sebab itu mereka ignin mencari ukuran yang tetap yang tidak berubah, tidak banyak atau tidak berkembang sehingga merupakan awal juga akhir dari alam semesta itu sendiri atau juga disebut inti sarinya alam “arche” dari alamnya, arche menurut bahasa Yunani berarti: mula, asal, sebab. Jadi yang dimaksudkan arche adalah asal mula, sebab musabab, inti sari atau pula hakikat dari alam semesta, termasuk isi dan penghuninya.[2] Tulisan ini akan berusaha membahas sejarah tiga filsuf besar mulai dari sejarah kelairannya dan pemikiran-pemikirannya yang berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat.

1.      THALES (624-548 SM)
 Riwayat hidupnya tidak ada yang tahu secara tepat walaupun ia sendiri seorang filsuf yang terkenal karena beliaulah yang merupakan bapak filsuf, tetapi sayang tulisan dari buah pikirannya lenyap tak tahu rimbanya dan ia sendiri selalu mengajar dengan lisan, kemudian berkembang juga dari mulut ke mulut saja, sehingga tidak ada bukti tertulis dari ajarannya tersebut.
Menurut cerita Thales adalah seorang saudagar yang banyak berlayar ke Mesir. Ia juga seorang ahli politik di Mitelos. Ia juga mempelajari ilmu pasti (matematika) juga astronomi (ilmu perbintangan). Thales juga ahli nujum (ahli ramal), menurut cerita ia meramalkan akan terjadi gerhana matahari ternyata ramalannya benar yaitu pada tahun 585 SM terjadi gerhana matahari. Ada pula cerita yang mengungkapkan bahwa Thales senang menyendiri dan pikirannya senantiasa terpusat pada alam semesta. Pada suatu hari Thales berjalan-jalan dengan asyik memandang ke atas melihat keindahan alam langit, namun tiba-tiba ia terjatuh ke lubang. Seorang perempuan yang lewat di situ mengatakan: “hai Thales, jalan ke langit kau tahu tapi jalan ke bumi kau malah tidak tahu”. Sungguhpun Thales terbilang sebagai bapak filsuf Yunani sebab dialah filsuf yang pertama, ia tak pernah meninggalkan pelajaran yang ditulisnya sendiri, filsafatnya diajarkan dengan runtutnya, kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut ke mulut pula. Baru kemudian Aristoteles yang menuliskannya.[3]
Menurut Aristoteles ajaran Thales adalah “semuanya itu air”, artinya: bahwa air yang cair itu adalah pangkal pokok dan dasar atau prinsip segala-galanya, semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali pada air. Dengan jalan peikiran tersebut Thales mendapat keputusan tentang soal yang besar yang senantiasa mengikat perhatian. Apa asal mula alam ini? Apa yang menjadi sebab pertama dari segala yang ada?. Dengan akalnya, Thales menyelidiki sebab yang penghabisan itu. Berdasarkan pengalaman yang dilihatnya sehari-hari, sejalan dengan pikirannya untuk menyusun bangun alam. Jadi bukan atas dasar kepercayaan maupun tahayul yang tumbuh dominan dikalangan masyarakat pada waktu itu. Sebagai seorang yang tinggal di pantai, Thales begitu seringnya mengarungi laut. Betapa air laut menjadi sumber hidup, begitu juga tanah Mesir yang ia lihat sendiri, betapa rakyat di sana tergantung pada sungai Nil, di samping hasil yang terkanding dalam sungai Nil juga air sungai Nil itulah yang menyuburkan tanah sepanjang alirannya sehingga dapat di diami oleh manusia. Jika tidak ada sungai Nil yang sewaktu-waktu melimpahkan airnya ke darat, negeri Mesir akan kembali menjadi padang Pasir.
Thales juga merasa takjub melihat kemegahan serta keperkasaan air laut yang sewaktu-waktu menggulung, berarak, menghantam pantai menghanyutkan serta melalap apa saja yang merintanginya. Pendek kata air memusnahkan dan menghidupkan. Di sini dihapuskannya, dihancurkannya segala yang hidup, tetapi bibit buah dan kayiu-kayuan dihanyutkan dan diantaranya ke tanah lain bibit dan buah-buah itu tumbuh di sana dan menjadi hidup. Demikianlah air menyebarkan bibit ke seluruh dunia. Berarti yang menghidupi segala yang ada, juga yang akan mengakhiri kehidupan. Dengan kata lain, bahwa segala sesuatu yang ada itu berasal dari air, adanya bersama air, akan kembali pula jadi air. Begitu pula manusia, berasal dari sperma (zat cair) kemudian hidup selalu bersama air (darah yang mengalir ke tubuh manusia) kemudian mati akan jadi air juga (hal ini berpikir rasional). Semuanya itu terpikir oleh Thales, air laut mnyebarkan bibit ke seluruh dunia yang kemudian menjadi unsure penghidupan. Air yang tiada berkeputusan itu dilihatnya dalam pelayaran, sangat terkesan dalam hatinya, sehingga mempengaruhi jalan pikiran dan pandangannya tentang alam. Semuanya itu air katanya. Dalam perkataan tersimpul dengan sengaja atau tidak suatu pandangan yang dalam yaitu bahwa “semuanya itu ada”.
Pada masa itu dunia masih diliputi tahayul, mistik maupun kepercayaan terhadap hal-hal yang ajaib. Buah pikiran yang mengatakan bahwa yang lahir itu tidak banyak melainkan “satu” hal ini tidak dangkal maknanya, pikirannya itu membuka mata tentang bangun alam dan menyingkapkan selimut atau rahasia alam semesta yang selama ini menutupi pemikiran manusia. Masalah besar atau salah pandangannya itu bukanlah soal di sini,tetapi yang dinyatakan cuma kelanjutan pikirannya, yang handak membebaskan atau memberi kemerdekaan pada akal dari belenggu tahayul dan mistik.
Bagi Thales, air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dari yang jadi. Di awali air di ujung air. Air sebab yang penghabisan,asalair pulang ke air. Air yang satu itu bingkai sekaligus isi, dengan kata lain air adalah bingkai dan substansi (isi).[4]
2.      PYTHAGORAS (580-500 SM)
Pythagoras berasal dari Samos (daerah Ioni), tetapi kemudian berada di Kroton (Italia selatan). Kira-kira 20 tahun dia tinggal di sana dan mendirikan sebuah tarekat keagamaan. Ia tidak menulis apapun, sebab ajarannya diberikan secara lisan dan bersifat rahasia. Baru kira-kira pertengahan abad ke-5 SM terdengar pemebriataan tentang ajarannya. Ada dua hal yang sangat besar pengaruhnya, yaitu suatu ajaran rahasia dengan suatu kepercayaan, bahwa jiwa tidak dapat mati dan usaha mempelajari ilmu pasti.
Pythagoras mencoba berfilsafat mengenai manusia. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa manusia adalah sesuatu yang bukan jasmani dan yang tidak dapat mati, yang masih terus ada walaupun manusia sudah tidak ada. Kalau kita hubungkan dengan istilah sekarang, maka yang dimaksud Pythagoras itu adalah baha manusia itu mempunyai jiwa.[5]
Pertama-tama diajarkan, bahwa jiwa adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak berjasad serta tidak dapat mati. Oleh karena hukumanlah maka jiwa dibelenggu di dalam tubuh. Dengan penyucian (katharis) orang dapat membebaskan jiwanya dari belenggu tubuhnya, sehingga setelah orang matijiwanya akan mendapatkan kebahagiaan. Akan tetapi barang siapa yang tidak mensucikan diri atau penyuciannya kurang, jiwanya akan berpindah ke kehidupan yang lain, sesuai dengan keadaannya, baik berpindah ke binatang,ke ttumbuh-tumbuhan taupun ke manusia. Penyucian diri terdiri dari melakukan pantangan-pantangan terhadap makanan tertentu, umpamanya; daging, kacang dan yang lainnya.
Yang penting sekali dalam ajaran Pythagoras adalah tentang bilangan[6] dalam bentuknya yang asli. Dapat dikatakan, bahwa ajaran tentang bilangan ini adalah batu sendi seluruh pandangan hidup Pythagoras. Menurut dia, asas segala sesuatu adalah bilangan, yang mewujuldkan satu kesatuan. Unsur-unsur atas asas-asas bilangan terdapat pada segala sesuatu yang ada. Unsur-unsur bilangan itu adalah; genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Suatu harmoni atau keselarasan (misalnya dalam oktaf) di hasilkan oleh penggabungan hal-hal yang saling berlawanan. Menurut Pythagoras ada 10 asas yang saling berlawanan, yaitu; terbatas-tidak terbatas, ganjil-genap, satu-banyak, kanan-kiri, lelaki-perempuan, diam-gerak, lurus-bengkok, terang-gelap, baik-jahat, persegi-bulat panjang. Bilangan 10 baginya adalah bilangan suci. Jagad raya terdiri dari 10 badan langit yang beredar mengelilingi api sentral, dengan kecepatan yang tinggisehingga masing-masing mengeluarkan suaranya yang sesuai dengan salah satu nada. Akan tetapi oleh karena manusia telah biasa akan bunyi suara itu maka tidak ditentangnya. Sepuluh badan langit itu adalah: kontra bumi, bulan, matahari, kelima planet; merkurius, venus, mars, yupiter, dan saturnus dan akhirnya langit dengan bintang tetap.[7]
Demikianlah tentang pengetahuan bilangan-bilangan itu memberi pengetahuan tentang kenyataan. Pengetahuan yang demikian itu mewujudkan bagian penyucian tersebut di atas. Jadi pemikiran dan perbuatan atau pandangan dan tingkah laku saling dikaitkan.

3.      ANAXAGORAS (499-420 SM)
Anaxagoras dilahirkan di kota Klazomenae di Asia kecil, pada masa mudanya ia pergi ke Athena. Dialah filsuf pertama yang datang ke Athena yang pada waktu itu Athena sedang mengalami zaman keemasan. Zaman keemasan itu disebut juga zaman Perikles, sebab beliaulah yang banyak berjasa dalam merintis zaman emas itu. Di Athena, Anaxagoras bersahabat baik dengan Perikles bahkan sebagai gurunya, tetapi akibat perang saudaradan Perikles jatuh, maka Anaxagoras diusir karena dianggap telah menghina kepercayaan umum, pada waktu itu orang Athena menyembah matahari, bulan dan dewa. Kemudian ia pindah ke Lampsakos sampai meninggal.
Anaxagoras juga pengikut Parmenides yang mempertahankan bahwa “yang ada tetap ada dan  yang tidak ada tetaplah tidak ada“. Ia mengajarkan bahwa yang timbul dan yang hilang itu dalam pengertian yang sah tidak ada. Isi dunia ini tidaklah bertambah dan tidaklah pula berkurang, tetapi tetap selama-lamanya. Apa yang disebut timbul dan hilang itu sebenarnya tidak lain adalahperhubungan dari pencampuranserta perpisahan anasir yang asal. Dalam hal penggabungan dan perpisahan anasir-anasir asal ini sebenarnya mengikuti teori Empedokles, tetapi ia lebih maju sedikit. Ia tidak menerima bahwa unsur-unsur asali itu rizomata (4 anasir) saja, melainkan anasir-anasir asali itu terdiri Cinrat banyak biji (spermata) yang berjenis-jenis sifatnya. Dari biji itu dapat dikatakan semua terdapat dalam semuanya. Artinya setiap dosa tiap-tiap biji mengandung segala kemungkinan.
Jadi menurut Anaxagoras, ansir yang asal itu bukan empat seperti yang diajarkan oleh Empedokles, melainkan banyak dan tak terhitung jumlahnya (spermata). Barang yang asal itu tidak dapat berubah jadi yang baru. Keadannya pada tiap-tiap barang,sebab itulah ada substansi sebanyak barang pula. Artinya tidak ternilai banyaknya. Kalau dari segalanya dapat terjadi segalanya. Tiap-tiap barang mengandung zat dari segala barang. Di dalam sepotong roti dan air minum sudah terkandung zat kulit, zat darah, zat daging, serta zat tulang. Sebab kalautidak begitu maka roti yang kita makan dan air yang kita minum tidak akan memperbaharui kulit kita, tidak dapat menjadi daging, tulang, darah dan seterusnya.
Adapun hal yang baru yang dikemukakan oleh Anaxagoras adalah NOUS[8] (kesadaran). NOUS inilah yang mengatur segala-galanya ketika anasir-anasir itu masih bercampur baur (CHAOS). Sedang NOUS itu sendiri bersifat tidak berakhir dan otonom, tidak bercampur dengan apapun, tetapi berdiri atau berdasarkan atas dirinya sendiri. NOUS itu yang bercair dan dalam kemurnian yang sempurna, maka dari itu menjiwai segala sesuatunya, memiliki pengetahuan yang sempurna dan kekuatan yang tidak terbatas. Segala sesuatunya terkuasai oleh NOUS itu.
Kalau dikatakan sebenarnya ajaran Anaxagoras ini sudah mengarah pada agama yang percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Namun pandangannyabukan agama melainkan yang esa (yang satu) itu dipandang sebagai dasar untuk menerangkan tentang alam. NOUS yang menjadikan alam semesta ini. Tiada yang meyerupai dan yang mencampurnya. NOUS-lah kemauan yang menyusun dan memimpin segala-galanya, segala yang teratur, segala yang sejahtera, segala yang indah, segala gerak yang berlaku menurut hukumnya, smuanya itu disebabkan oleh NOUS tersebut.[9]



DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta; Kanisius, 1980).

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta; Tintamas, 1964).

LasiyoوDrs. dan Drs. Yuwono, Pemikiran Filsafat ( Pada masa Pra-Socrates, Socrates, sesudah Socrates) , (Yogyakarta; Liberty, 1986).

Russell, Bertrand, History of  Western Philosophy, (London; Unwin Brothers Limited Woking, 1946).


[1] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta; Kanisius, 1980), hal. 15
[2] Drs. Lasiyo dan Drs. Yuwono, Pemikiran Filsafat ( Pada masa Pra-Socrates, Socrates, sesudah Socrates) , (Yogyakarta; Liberty, 1986), hal.2.
[3] Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta; Tintamas, 1964), hal.6.
[4] Drs. Lasiyo dan Drs. Yuwono, Pemikiran Filsafat ( Pada masa Pra-Socrates, Socrates, sesudah Socrates) , op cit. hal. 4-5.
[5] Ibid, hal. 16
[6] Lihat juga dalam bukunya Bertrand Russell, History of  Western Philosophy, (London; Unwin Brothers Limited Woking, 1946), hal. 53 (Pythagoras, as everyone knows, said that; all things are numbers).
[7] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, opcit. Hal. 19-20.
[8] Lihat dalam bukunya Bertrand Russell, History of  Western Philosophy, (London; Unwin Brothers Limited Woking, 1946), hal. 82
[9] Drs. Lasiyo dan Drs. Yuwono, Pemikiran Filsafat ( Pada masa Pra-Socrates, Socrates, sesudah Socrates) , op cit. hal. 23-25.

No comments: