Tuesday 24 May 2011

10 Istilah Penting Dalam Filsafat Islam

        
   oleh: Alex Nanang Agus Sifa 
 (Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA. M.Phil)
    
1.      Kalam
Kalam berarti kata-kata. Ilmu kalam secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Bila yang disebut kalam adalah sabda Tuhan, hal ini pernah menjadi pembahasan yang serius di dalam ilmu kalam. Penggunaan istilah kalam dalam ilmu kalam karena masalah yang begitu menonjol dibicarakan adalah kalam sebagai salah satu sifat Tuhan,  atau karena kesamaan tertentu antara mutakallimun dan filosof yang menamakan salah satu cabang ilmu mereka. Ilmu kalam dinamai pula ilmu tauhid, ilmu ushuluddin dan fiqhakbar.[1] Dinamakan ilmu kalam karena pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal  yang berhubungan dengan-Nya dengan disertai argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan logika atau mantik.[2]
Menurut Al-Farabi, ilmu kalam adalah ungkapan tentang perdebatan seputar keyakinan-keyakinan agama dalam hal ini adalah pokok-pokok agama seperti Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya  dan penciptaan alam.[3] Sedangkan Ibnu Kholdun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung argumentasi-argumentasi tentang aqidah-aqidah imaniyah yang diperkuat dalil-dalil rasional dan penolakan terhadap pelaku bid’ah yang menyimpang dalam aqidah salaf dan ahli sunnah.[4]
Sedangkan menurut Muhammad Abduh sebagaimana yang dikutip oleh Prof.Dr. H. Abuddin Nata, M.A, mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang membicaraka ntentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya.[5]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka tampak terlihat bahwa ilmu kalam (teologi) adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah memang teologi berasal dari kata “teo” yang berarti Tuhandan kata “logi” yang berarti ilmu.[6]
Jika ditelusuri, ilmu kalam ini bermula dari tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah. Orang yang pertama membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wal jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu al maqalat, al-Ibanah dan ushul diyanah.[7]
2.      Wajibul Wujud (Necessary Being)
Wajibul wujud (Necessary being) adalah esensi yang tidak boleh tidak harus memiliki wujud. Dalam artian, essensi tidak bias dipisahkan dari wujud dan keduanya adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, akan tetapi essensi harus dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya yaitu Tuhan. Wajibul wujud inilah yang mewujudkan mumkinul wujud.[8]
3.      Creatio Ex Nihillo
Creatio ex nihilo"[9] (الإيجاد من العدم) adalah pengertian penciptaan bagi pekerjaan Tuhan. Tuhan menciptakan apa-apa dari dalam ketiadaan.Tuhan Disebut (Pencipta) karena Dia yang menciptakan sesuatu dari tiada.[10] JikaTuhan disebut dengan Pencipta berarti apa-apa selain-Nya adalah ciptaan,  seperti halnya alam dan seisinya. Jika alam dan seisinya merupakan ciptaan berarti alam bersifat terbatas dan tidak kekal.
4.      Emanasi (al-Faidh)
Emanasi (al-faidh) merupakanpaham yang menyatakan bahwa alam ini adalah hasil pancaran (emanasi) dari Yang Maha Satu. Paham ini dalam filsafat Yunani dikemukakan oleh Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada.[11]
Paham ini juga dianut oleh beberapa filsafat muslim seperti Al-Farabi. Dia berusaha menjelaskan bagaimana yang banyak dapat timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu, Maha Sempurna, tidak berubah, jauh dari materi dan tidak butuh pada apapun. Menurutnya alam ini terjadi dengan cara emanasi. Yang Maha Esa berfikir tentang diri-Nya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang Esa atau Akal I inilahmulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalahTuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaituTuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam dan Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut:
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.[12]
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsure pokok: air, udara, api dan tanah.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Walaupun demikian Al-Farabi tetap tidak setuju dengan pernyataan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam ini kekal. Sebagian penyelidik dan pengkaji filsafat islam berpendapat bahwa bagi Al-Farabi alam ini bersifat baru.[13]
5.      Metafisika
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani yaitu “meta ta physica” yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Istilah tersebut digunakan di Yunani untuk menunjukkan karya-karya tertentu Aristoteles. Aristoteles mendefinisikan metafisika sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang dilawankan, misalnya dengan yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang jumlahkan.[14]
Para ahli sejarah filsafat menyimpulkan bahwa pembahasan tentang metafisika (ma ba’da ath-thabi’ah) disebut juga dengan pembahasan tentang wujud (mabhats al-wujud) atau disebut filsafat wujudiyyah (existentialism), hal ini dikarenakan metafisika merupakan asas yang menjadi sumber wujud dan tempat kembali yang abadi.Aristoteles menyebutnya sebagai al-falsafah al-ula (ma ba’da ath-thabi’ah).[15]
Dewasa ini, metafisika dipergunakan baik untuk menunjukkan filsafat pada umumnya maupun seringkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika juga sering ditunjukkan bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya yaitu ontologi.
Pada umumnya, orang mengajukan dua pertanyaan yang bercorak metafisika. Pertama, apakah saya ini tidak berbeda dengan batu karang? Apakah roh saya hanya merupakan gejala materi? Dan yang kedua, apakah yang merupakan asal mula jagad raya? Apakah yang menjadikan jagad raya dan bukannya keadaan yang bercampur aduk? Apakah hakikat ruang dan waktu? Pertanyaan jenis pertama termasuk ontology dan pertanyaan yang kedua termasuk kosmologi.
Perkataan kosmologi berasal dari Yunani, cosmos dan logos yang masing-masing berarti “alam semesta yang teratur” dan “penyeledikan tentang” atau lebih tepatnya “asas-asas rasional dari”. Sedangkan perkataan ontologi juga berasal dari Yunani yang berarti “yang ada”. Ontology membicarakan asas-asas rasional dari  yang ada sedangkan kosmologi membicarakan asas-asas rasional dari yang ada yang teratur. Ontology berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya.[16]
6.      Peripatetik
Peripatetik sering disebut dengan logika formal yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut kebenaran logika ini, pengetahuan yang benar dapat dicari walaupun tentang sesuatu yang tidak diperoleh. Atau dengan ungkapan lain, sesuatu itu dapat diketahui dengan cara mendefinisikannya dengan benar. Dan inilah yang disebut proses “tahu” menurut filsafat peripatetik.[17]
Sedangkan menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu, mungkin pengetahuan dapat dicari tapi belum dapat diperoleh. Menurutnya, pengetahuan baru dapat diperoleh dengan terlebih dahulu subjek mengetahui tentang kediriannya dan bertemu langsung dengan objek. Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan keduanya hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang disebut dengan ilmu hudhuri (knowledge by presence). Di samping itu juga, antara keduanya (yakni subjek dan objek) harus dalam terang cahaya.[18]
7.      Atomisme
Istilah atomisme[19] berasal dari bahasa Yunani, a (tidak) dan tomos (potong), kata kerja temnein (memotong). Secara umum, atomisme merupakan pandangan materialistis bahwa alam semesta terdiri dari entitas yang paling sederhana, independen, dan tidak dapat direduksi, yang saling berkaitan hanya secara kontingen untuk membuat objek-objek.[20]
Teori atomisme paling tua dapat ditemukan dalam filsafat inidia Jainisme yang muncul sekitar tahun 800 SM. Di dunia Barat teori Leukipos dan Demokritos (abad ke-5 SM) menganggapp unsur-unsur terakhir hal-hal sebagai entitas-entitas spasial yang tak dapat dibagi lebih lanjut.[21] Kemudian Epikuros melanjutkan perkembangan teori itu di Barat abad ke-4 SM sebagaimana dilakukan Heraclides, kendati Heraclides mengakui adanya perbedaan-perbedaan kualitatif di antara atom-atom. Pada abad ke-3 SM, Strato menganut pandangan bahwa atom-atom dapat dibagi secara tidak terbatas dan peka terhadap panas dan dingin. Perkembangan final teori atom terjadi di Barat. Galileo mendapati atomisme konsisten dengan studi-studi eksperimentalnya. Perkembangan teori korpuskular abad ke-17 di kalangan filosof berawal dari teori Demokritos dan Leukipos. Dan semenjak abad ke-17, atomisme diterima sebagai interpretasi ilmiah.[22]
Istilah atom dalam bahasa Arab disebut al-jauhar al-fardi dan atomisme disebut madzhab  al-jauhar al-fardah dan kebalikannya adalah monadism (madzhab adz-dzurrah ar-ruhiyyah). Istilah jauhar juga berarti substansi, lawan dari aksidensi (‘ardh). Substansi berasal dari bahasa latin substantia (bahan, hakikat, zat, isi) dari sub (di bawah) stare (berdiri atau berada). Istilah ini mengacu pada substratum yang mendasari dan mendukung perubahan. Tetapi substansi juga memuat ide subjek perubahan individual. Istilah yunani yang paling banyak menangkap arti macam ini adalah ousia dan hypokeimenon. Bagaimanapun ousia pada gilirannya berarti baik substansi maupun esensi[23] dan hypokeimenon berarti benda konkrit, substratum, serta subjek. Dengan demikian keadaannya sudah rumit sejak permulaan.[24]
8.      Aksidensi
Istilah ini berasal dari bahasa Latin accidens yang berasal dari kata kerja accidere dari ad (pada) dan cadere (jatuh). Sedangkan secara harfiah berarti “sesuatu yang jatuh pada yang lain.”[25] Sedangkan pengertian aksidensi secara umum sebagai berikut:[26]
a.    Dalam filsafat Aristotelian dan skolastik, aksiden merupakan bentuk keberadaan yang melekat pada yang lain, seperti cara berada kemerahan pada sebuah apel, dikontraskan dengan yang substansial, seperti cara berada apel itu sendiri. Aksiden tidak saja suatu sifat seperti kemerahan, tetapi juga Sembilan kategori Aristoteles selain substansi.
b.   Dalam arti sangat luas, aksiden berarti segala sesuatu yang ditambahkan pada substansi. Fungsinya sebagai determinasi lebih lanjut terhadap substansi.
c.    Aksiden mendeterminir substansi, entah di dalam dirinya sendiri atau dalam hunungan dengan yang lain. Di sini muncul aksiden-aksiden mutlak. Misalnya kuantitas dan kualitas. Juga terdapat aksiden-aksiden nisbi yakni ruang dan waktu.
d.   Bentuk aksidental berbeda dari bentuk substansial, karena bentuk substansial merupakan atau menentukan hakikat sesuatu. Misalnya, jiwa menjadikan tubuh hidup. Sedangkan bentuk aksidental mengandaikan hakikat sesuatu yang sudah ada. Bentuk aksidental semata-mata menambahkan determinasi lebih lanjut pada substansi. Aksiden tidak pernah bisa berada secara tidak tergantung di dalam dirinya sendiri sebagaimana substansi. Berdasarkan kodratnya aksiden membutuhkan substansi di mana ia melekat.

9.      Tradisi falsafah
Berfalsafah secara mudah dapat dimaksudkan sebagai memikirkan sesuatu dengan sangat mendalam. Tetapi, berfalsafah di sini bermaksud berfikir secara falsafah. Berfalsafah merupakan satu tanda yang penting bagi bidang falsafah. Dia boleh diibaratkan sebagai inti dalam falsafah. Berfikir secara falsafah ini harus mengandungi tiga ciri, iaitu:
a.        Radikal
Ini bermaksud bahawa berfalsafah merupakan corak pemikiran yang ketuntasan, yakni berfikir dengan sedalam-dalamnya sehingga kepada akar bagi sesuatu masalah.
b.       Sistematik
Berfikir sistematis ialah berfikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesedaran dengan urutan yang tersusun.
c.        Universal
Universal bermaksud umum. Dalam corak pemikiran ini, pemikiran tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi mencakup keseluruhan bagi sesuatu persoalan.
Jika diperhatikan, definisi-definisi yang telah diberikan oleh ahli-ahli pikir sejak dari zaman Yunani seperti Plato (429-347 SM), Epicure (341-270 SM), Cicero (106-43 SM), sampai pada ahli pikir modern seperti Descrates (1596-1650),  kendatipun definisi yang mereka berikan itu berbeda, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa mereka berpendapat bahwa berfilsafat itu adalah berpikir. Akan tetapi bukanlah sembarang berpikir atau berpikir selintas lalu atau berpikir yang tidak mempunyai peraturan dan disiplin, melainkan berpikir secara mendalam atau dengan perkataan lain, berfilsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang segala yang masuk ke dalam pikiran baik yang di luar maupun di dalam diri. Dengan demikian ada tiga unsur yang harus dilengkapi dalam berpikir secara filosofis, yaitu berpikir itu haruslah sedalam-dalamnya, harus bebas dan harus dikerjakan dengan teliti.[27]


Tradisi Falsafah
Secara garis besarnya, falsafah dapat dibagi dalam dua tradisi, yakni filsafat Barat dan filsafat Timur.
a.       Falsafat Barat
Dalam bukunya Dr. Harun Hadiwijono disebutkan bahwa untuk melihat awal munculnya sejarah (akar) dari filsafat Barat, maka dapat dilihat dari sejarah filsafat di masa Yunani Kuno. Menurutnya filsafat Barat bermula dari filsafat Yunani yang berkembang sekitar abad ke-6 SM.[28] Sebelum filsafat lahir dan berkembang pesat di Yunani, di sana telah berkembang berbagai macam mitos. Bahkan, filsafat pertama kali di Yunani dikembangkan melalui jalan mitologis.[29]
Di Yunanilah tempat persemaian dimana pemikiran ilmiah mulai tumbuh. Bagi mereka filsafat tidak merupakan suatu ilmu di samping ilmu-ilmu lain, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiah. Pertama kali istilah filsafat digunakan oleh Pythagoras pada abad ke-6 SM. Nama filsafat sendiri berasal dari Yunani yaitu dari philosophia yang berarti pecinta kebijaksanaan.[30] Dimulai dari pencarian mereka tentang kebijaksaan, antara myhthos dan logos kemudian sampai pada pemikiran ditawarkan oleh para filosof Yunani mulai abad ke-6 SM sampai abad ke-6 M.
Secara garis besar, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Barat dapat dibagi menurut periodisasi sebagai berikut:[31]
1.      Periode Yunani Kuno (kosmosentris)
Para filosof pada zaman ini mempertanyakan asal usul alam semesta atau jagad raya.
2.      Periode Abad Pertengahan (teosentris)
Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani.
3.      Periode Abad Modern (antroposentris)
Para filosof pada zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis.
4.      Periode Abad Kontemporer (logosentris)
Pada zaman ini teks menjadi tema sentral diskursus para filosof.
Filsafat barat bermula dari keraguan akan segala sesuatu dan berakhir pula denga keraguan. Seperti halnya yang dilakukan oleh friedrich Nietzsche -pendobrak pintu gerbang postmodernisme-[32] yang sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan telah mati.[33]
b.   Filsafat Timur
Untuk berfilsafat, seseorang tidak perlu menanggalkan agamanya dari jiwa dan raganya terlebih dahulu. Karena istilah berpikir bebas dalam alam filsafat itu, bukanlah berarti berpikir sesuka hati, membabi buta dan tanpa aturan melainkan bebas yang terikat. Tetapi yang mengikatnya hanyalah disiplin dan hukum berpikir itu sendiri. Maka oleh karena itu, seorang muslim yang berpikir dengan sedalam-dalamnya, tanpa sesuatu maksud, selain dari mencari yang haq, kebenaran yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir, akan sampailah dia pada kebenaran itu dan tidak akan sesat.
Dalam tulisan ini filsafat Timur yang dimaksudkan adalah filsafat Islam. Jika filsafat memang didefinisikan sebagai berpikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang segala yang masuk ke dalam pikiran baik yang di luar maupun di dalam diri, dengan melihat tiga unsur yang harus dilengkapi dalam berpikir secara filosofis, yaitu berpikir itu haruslah sedalam-dalamnya, harus bebas dan harus dikerjakan dengan teliti. Maka di dalam Islam sendiri kegiatan berpikir filsafat sudah dimulai sebelum para pemikir/filosof Islam menerjemahkan karya-karya Yunani. Secara garis besar, kegiatan berpikir dan berfilsafat dalam Islam dapat dibagi dalam tiga aliran besar, yaitu aliran aqidah (i’tiqad), aliran ilmu hukum (fiqh) dan aliran politik (as-siyasah).
Jika pengetahuan filsafat hanya membahas pokok persoalan dalam agama saja seperti persoalan mengenai Tuhan, nabi, kejadian pada hari akhir dan hukum-hukum yang tumbuh dari perintah yang tegas dan larangan yang terang, maka dinamakan ilmu ushuluddin.[34] Yang pada akhirnya, persoalan filsafat mengenai ketuhanan telah disimpulkan menjadi sebuah kitab amalan yang diwajibkan kepada semua orang Islam pada permulaan agamanya, diselingi dengan keterangan-keterangan dari Al-Qur’an dan hadits, maka hasil filsafat ini dinamakan ilmu tauhid,[35] atau dalam bentuk sederhana dinamakan sifat dua puluh, yaitu ilmu untuk mempelajari dan mengenal sifat-sifat Tuhan menurut konsep Al-Asy’ari.
            Dalam hal i’tiqad ini, terdapat berbagai macam pendirian-pendirian  mengenai persoalan-persoalan keyakinan. Diantaranya madzhab Salaf, Jabariyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lain-lain. Sedangkan dalam hukum-hukum agama, terdapat Al-Ja’fari, Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Syafi’i, Al-Hambali, As-Salafi, Al-Auza’i, Az-Zahiri, At-Tabari dan filsafat fiqh dalam bagian syiah seperti madzhab isna ‘asyar Imamiyah Zaidiyah, Ismailiyah dan lain-lain. Sedangkan dalam siasat (siyasah) terdapat dalam masa Bani Umayah, Bani Abbas dan yang dianut oleh golongan-golongan Syiah seperti Sabaiyah, Ghurbiyan, Kisaniyah, Isma’iliyah, Fathimiyah, Zaidiyah dan Itsna ‘Asyar Imamiyah.[36]
            Dengan demikian, maka sangatlah jelas, bahwa tradisi falsafah dalam Islam sudah dimulai sebelum persentuhan antara para filosof muslim seperti Al-Kindi dan seterusnya dengan filsafat Yunani. Jadi, pernyataan yang mengatakan bahwa tradisi falsafah tidak ada dalam Islam dan hanya mengikut atau mengekor (mengadopsi/menjiplak) dari filsafat Yunani sangatlah diragukan kebenarannya. Karena dalam islam sendiri, sudah terdapat tradisi berfalsafah jauh sebelum penerjemahan karya-karya filosof Yunani.
10.  Neo-Platonisme
Neo-Platonisme bukan hanya suatu kebangkitan kembali filsafat Plato, sebagaimana dapat disimak dari nama itu, namun merupakan sistem filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang besar. Sistem ini memadukan filsafat Plotinus dengan trend-trend utama lain dari pemikiran kuano, kecuali Epikurianisme. Bahkan sistem ini mencakup unsur-unsur religius dan mistik, sebagiannya diambil dari filsafat Timur.[37]
Sebagai salah satu dari cabang yang paling kuat dalam filsafat Barat, Neoplatonisem merupakan filsafat yang bertolak dari karya Plato dan menafsirkannya denga cara khusus. Cara interpretasi itu cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan, dengan membuatnya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia melalui deretan perantara-perantara yang turun dari Yang Satu oleh prisip emanasi. Menurut pandangan ini realitas merupakan deretan atau rangkaian bertingkat-tingkat mulai dari yang ilahi sampai dengan yang material. Dan manusia, yang dalam dirinya memiliki suatu bagian dari yang ilahi, merindukan persatuan denga sang sumber kekal semua hal itu. Sistem ini dengan demikian mempunyai implikasi-implikasi spiritual maupun intelektual.[38]
Benih gerakan Neoplatonisme dapat disaksikan dalam akademi Plato yang merebak tidak lama sesudah Plato mati, walaupun sebenarnya istilah ini berkaitan erat dengan filsafat Plotinus.[39] Tokoh-tokoh yang dipandang sebagai perintis sebelum meluasnya Neoplatonisme diantaranya adalah Philo Judaeus. Pada abad pertama masehi, dia merintis Neoplatonisme dengan beberapa cara yaitu dengan konsepsinya mengenai Allah yang sama sekali transenden dan pandangannya tentang hierarki tingkat-tingkat perantara antara Allah dan dunia.
Sedangkan aliran tertua Neoplatonisme adalah sekolah Athena. Berlangsung dari sekitar 380 hingga 529 M, aliran ini mencari suatu pandangan tunggal dalam pemikiran Plato, Aristoteles, Plotinus dan cabang-cabang pemikiran lainnya seperti Stoisme.[40]
Pada tahun 832 M, madzhab ini melancarkan program penerjemahan berbagai teks Yunani ke dalam bahasa Arab. Diantara tokoh-tokoh yang besar pengaruhnya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avecina)[41] dan Ibnu Rusyd (Averos). Kemudian pada abad ke-19 M, Schelling dan bahkan Hegel dapat dianggap sebagai penerima pengaruh ini.
Neoplatonisme merupakan sistem filsafat besar terakhir yang dikerjakan oleh filosof-filosof kuno. Pengaruhnya sangat mendalam pada filsafat patristik, mistisisme Kristen dan skolastisisme.












DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi, Abi Nashr, Ihshau al-‘ulum, (Beirut: Daru Wa Maktabah Al-Hilal 1996)
Ahmad, Muhammad, H., Tuhid ILmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Anwar, Rosihon, Drs. M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Kamus IstilahTeologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Ath-Thawil, Taufiq, Usus Al-Falsafah (Kairo: Mathba’ah Lajnatu At-Ta’lif Wa-Attarjamah Wa-Annasyr, 1958)
Bertens, K., Dr., Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 1975)
Fazlurrahman, Filsafat Shadra, Munir A. Muin (terj.), (Bandung: Pustaka, 2000)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet. Ke-6)
Hadiwijono, Harun, Dr., Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
Hakim, Atang Abdul, Drs. MA dan Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (terj.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, Cet. Ke-10)
Mudhofir, Ali, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Munir, Misnal, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Lima, 2008)
Mustofa, A, Drs. H., Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Nasution, Harun, Prof. Dr., Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Nata, Abuddin, Prof. Dr. H. M.A, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009, Cet. Ke-16)
Waugh, Patricia, Postmodernism (USA: Routledge, Chapman and Hall, 1992)
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study Of Suhrawardi’s Hikmah al-Isyraq (Georgia: Brown University, 1990), 136



[1] Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Kamus IstilahTeologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hal. 91
[2] H. Muhammad Ahmad, Tuhid ILmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 9
[3]علم الكلام وهو عبارة عن الجدل حول العقائد الدينية ولا سيما أصول الدين كالله وصفاته وأفعاله وخلق العالم Abi Nashr Al-Farabi, Ihshau al-‘ulum, (Beirut: Daru Wa Maktabah Al-Hilal 1996), hal. 86 .
[4]علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد علي المبتدعة المنحرفين في الإعتقادات عن مذهب السلف وأهل السنة , AbiNashr Al-Farabi, Ibid, hal. 86
[5] Prof.Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009, Cet. Ke-16), hal. 268
[6] Prof.Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Ibid., hal. 269
[7] Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Op.Cit., hal. 92
[8] Prof. Dr. Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 40
[9] The Latin phrase ex nihilo means "out of nothing". It often appears in conjunction with the concept of creation, as in creatio ex nihilo, meaning "creation out of nothing".
[10] Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid., hal. 22, 23, 45
[11] Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid., hal. 16
[12] Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid., hal. 27-28
[13] Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid.,hal. 29
[14] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (terj.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, Cet. Ke-10), hal. 72. Dalam bahasa arab istilah metafisika sering disebut ma ba’da ath-thabi’ah.
[15] Menurut Andronicus sebagai kepala madrasah paripatetik yang ke-11, Aristoteles merupakan orang yang pertama kali memunculkan istilah metafisika (ma ba’da ath-thabi’ah) dengan sebutan al-falsafah al-ula dengan alasan agar dapat dibedakan dengan al-falsafah ats-tsaniah yakni ilmu alam/fisika (al-‘ilmu ath-thabi’i) yang muncul terlebih dulu, dia juga menyebutnya denga hikmah karena membahas tentang sebab pertama (first cause/al-‘illah al-ula) dan dia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang Tuhan (al-ilmu al-Ilahi) karena sebagian besar pembahasannya tentang Tuhan (Allah) sebagai wujud pertama (al-maujud al-awwal) dan sebab pertama. Taufiq Ath-Thawil, Usus Al-Falsafah (Kairo: Mathba’ah Lajnatu At-Ta’lif Wa-Attarjamah Wa-Annasyr, 1958), hal. 167
[16] Louis O. Kattsoff, Op.Cit., hal. 73-74
[17] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study Of Suhrawardi’s Hikmah al-Isyraq (Georgia: Brown University, 1990), 136
[18] Hossein Ziai, Ibid, hal. 117 dan 141
[19] Taufiq Ath-Thawil, Usus Al-Falsafah, Op.Cit, hal. 467
[20] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), hal. 97
[21] Demokritos merupakan murid dari Leukipos, Taufiq Ath-Thawil, Usus Al-Falsafah, Op.Cit, hal. 174
[22] Lorens Bagus, Op.Cit, hal. 97-98
[23] Dalam bukunya Louis O. Kattsoff dibedakan antara substansi dan esensi. Hubungan substansi dan esensi adalah serupa hubungan antara eksistensi dengan kenyataan. Setiap substansi mengandung pengertian esensi, tetapi tidak setiap esensi mengandung pengertian substansi. Louis O. Kattsoff, Op. Cit., hal, 51
[24] Lorens Bagus, Ibid., hal. 1051
[25] Lorens Bagus, Ibid., hal. 31
[26] Lorens Bagus, Ibid., hal. 31
[27] Prof. H. Mukhtar Yahya dalam pengantar bukunya Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet. Ke-6), hal. v
[28] Dr. Harun Hadiwijono, Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 9
[29] Drs. Atang Abdul Hakim, MA dan Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 39
[30] Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hal. 13. Yunani dikatakan sebagai tempat pertama munculnya filsafat disebabkan oleh pemikir Yunani lebih sistematis dan metodis. Walaupun sebenarnya ada pendapat yang mengatakan bahwa sebelum filsafat Yunani, ada beberapa Negara yang telah berkembang pemikiran filsafat seperti: pertama, India, dengan dikenalnya ajaran bahwa dunia diciptakan oleh Brahmana. Kedua, China, adanya ajaran Tao sebagai sang pencipta. Ketiga, Persia, adanya agama Zarathustra. Dan keempat, Mesir, para pendeta mencari hakikat kebenaran hidup. Drs. H. A.Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 28-29
[31] Misnal Munir, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Lima, 2008), hal. 7
[32] Bahkan dia bisa dipandang sebagai perintis penting dalam kebanyakan pemikiran postmodern (He can be seen as the major precursor of much postmodern thought) lihat dalam bukunya Patricia Waugh, Postmodernism (USA: Routledge, Chapman and Hall, 1992), hal. 4
[33] Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 375
[34] Drs. H. A.Mustofa, Op. Cit., hal. 38
[35] Drs. H. A.Mustofa, Ibid., hal. 38
[36] Untuk lebih jelasnya lihat dalam bukunya Drs. H. A.Mustofa, Ibid., hal. 39-41
[37] Lorens Bagus, Ibid., hal. 701
[38] Lorens Bagus, Ibid., hal. 701
[39] Plotinus terkenal dengan teorinya Yang Esa atau Esanya Plotinus. Dengan penjelasan tentang keluarnya alam dari Yang Esa, dia sampai pada kesimpulah bahwa semua wujud, termasuk di dalamnya wujud Tuhan, merupakan mata rantai yang erat dan terkenal dengan istilah kesatuan wujud (wihdatul wujud). Drs. Atang Abdul Hakim, MA dan Drs. Beni Ahmad Saebani, Op. Cit.,  hal. 134
[40] Lorens Bagus, Ibid.,  hal. 701-702
[41] Ibnu Sina merupakan filosof yang telah membangun suatu system filsafat  yang penuh di atas Neo Platonis-Aristotelian dengan panduan internal yang berusaha memenuhi tuntutan filsafat dan agama. Lihat dalam bukunya Fazlurrahman, Filsafat Shadra, Munir A. Muin (terj.), (Bandung: Pustaka, 2000), hal. 14. Akan tetapi dalam konsep ketuhanan, Ibnu Sina tidak menggunakan istilah yang digunakan oleh Aristotelian atau Neoplatonik “al-muharrik al-awwal”, tapi dia menggunakan istilah “as-sabab al-awwal.” (Ibid., hal. 98)

No comments: