Tuesday 24 May 2011

Soren Kierkegaard & Kritiknya Atasnya Gereja


 
Alex Nanang Agus Sifa
Soren Aabye Kierkegaard lahir 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan meninggal dikota yang sama 11 November 1855. Ia adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang religius dan anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark.
Dia seorang ahli Filsafat Eropa pada Zaman Keemasan. Tradisi Sastra dan Seni, pendahulu dari Eksistensialisme, Pasca-modernisme, Pascastrukturalisme, Psikologi eksistensial, Neo ortodoksi. Minat utamanya pada bidang Agama, Metafisika, Epistemologi, Estetika, Etika, Psikologi. Gagasan pentingnya membuat ia dianggap sebagai Bapak Eksistensialisme, kecemasan, keputusasaan eksistensial, Tiga ranah keberadaan manusia, Ksatria iman, Subyektivitas adalah Kebenaran. Ia dipengaruhi Hegel, Abraham, Luther, Kant, Hamann, Lessing, Socrates (Plato, Xenophon, Aristophanes).
Pemikiran Kierkegaard, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu di dalam kerumunan kawanan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Sartre kelak.
Kierkegaard menganggap para imam dan gereja tidak lagi mewartakan Injil Kristus, tetapi mewartakan pesan kemapanan dan kegembiraan. Gereja justru memberikan rasa aman, penghargaan, dan kedudukan dalam masyarakat. Ia melihat gereja sudah mempermainkan Allah dengan memberitakan sesuatu yang menyimpang dari kekristenan Perjanjian Baru.
Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialektika eksistensialis yang menggambarkan perkembangan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahap pertama adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi, sebagaimana arti kata estetis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan. Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal.
Tahap terakhir adalah tahap keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal namun menemui sifat paradoks keimanan. Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim (atau Abraham) dalam kisah penyembelihan anaknya (Ishak dalam agama Kristen dan Ismail dalam agama Islam) yang tindakannya tersebut, sebagai manifestasi dari keimanannya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan yang mengandung dasar paradoks karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain, secara bersamaan, dia mendapatkan segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan ilahi, sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru dianjurkan oleh Kierkegaard, yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral universal.
Bagi Kierkegaard, ibadah yang benar hanya "terletak pada pelaksanaan kehendak Allah" dan gereja tidak mutlak diperlukan untuk itu. Ini tidak berarti bahwa ia mendukung penghapusan gereja Kristus. Ia justru mengemukakan bahaya yang diakibatkan oleh keputusan untuk menetapkan lembaga gereja sebagai pengganti gereja Kristus. Dan ia melihat tugasnya sebagai memperkenalkan kembali kekristenan ke dalam dunia Kristen. Ia sepenuhnya sadar bahwa keselamatan tidak bergantung pada perintah para imam, tetapi pada perintah Allah. Kierkegaard beranggapan, jauh lebih baik untuk menyerang dan menolak kekristenan daripada turut serta dalam mengejek kekristenan dalam kebobrokan yang ditunjukkan gereja.

No comments: