Tuesday 24 May 2011

HIJRAH SEBAGAI GERBANG TRADISI ILMIAH

Oleh: Alex Nanang Agus Sifa
(Pelaksana Kajian Centre For Islamic & Occidental Studies)
Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan, berpisah, atau menjauhi, sebagaimana firman Allah SWT tentang Nabi Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke Rabb-ku”(QS. Al-Ankabut: 26). Adapun yang dimaksud hijrah di sini adalah berpindah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Atau dapat juga diartikan sebagai perpindahan dari dunia jahiliah menuju ke dunia ilmu (ilmiah). Perpindahan tersebut mengindikasikan adanya transformasi yang bukan sekedar fisik akan tetapi juga transformasi dalam rangka peningkatkan intelektual serta spiritual.
Bagi nabi Muhammad SAW, hijrah bukanlah sarana untuk melarikan diri dari musuh dan bukan pula sekedar strategi dakwah, namun hijrah lebih ditujukan untuk menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai agama sekaligus peradaban yang berkeadaban. Sedangkan visi dan misi Islam tersebut tidak akan tersampaikan terkecuali melalui jalan ilmu. Karena dalam Islam sendiri, tradisi ilmu sebenarnya telah diproklamirkan sejak ayat pertama dalam al Qur’an Surat Al-‘Alaq diturunkan “iqro” (Bacalah).
Sejak dari kemunculannya, Islam memang sudah memberi perhatian besar terhadap ilmu yang terlihat dari aktivitas membaca dan menulis. Buktinya, salah satu surat Al-Qur’an diberi nama al-Qolam yang berarti pena. Al-Qur’an juga memerintahkan kaum muslim untuk mencatat saat melakukan transaksi pinjam meminjam. Bukti lain juga dapat dilihat dari piagam Madinah. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa piagam ini dikategorikan sebagai konstitusi pertama yang dibuat secara tertulis.
Tradisi baca dan tulis begitu hidup dalam masyarakat yang sebelumnya didominasi tradisi lisan. Tiap ayat Al-Quran turun, Rasulullah memerintahkan kepada sahabatnya untuk menulis. Pada masa ini tradisi baca dan menulis sangat hidup. Tiap ayat yang diturunkan pada Rasul, segera diajarkan kemudian dihafalkan bahkan Rasul menunjuk Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan sahabat yang lain untuk menuliskan setiap ayat al-Qur’an yang turun pada beliau. Bahkan pada masa awal permulaan Islam, tradisi membaca dan menulis ini menjadi simbol kemuliaan.
Hal lain yang membuktikan betapa pentingnya budaya baca tulis bagi umat Islam adalah setelah terjadinya perang badar kubro dimana pada saat itu umat Islam mengalami kemenangan besar, selain harta rampasan perang, umat Islam juga berhasil menawan beberapa tentara dari kaum Quraisy. Satu hal yang menakjubkan terjadi pada diri Rasulullah beliau memberikan jaminan kebebasan bagi para tawanan yang dapat mengajarkan baca tulis bagi penduduk Madinah. Hal ini merupakan bukti bahwa begitu besarnya penghargaan Rasulullah terhadap orang yang berilmu.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa banyak sahabat yang tinggal di suffah (asrama tempat belajar) dan jumlah mereka mencapai 900 orang. Mereka mempelajari dan mendalami setiap ayat yang turun begitu juga hadits-hadits Nabi SAW. Tempat ini ibarat universitas dimana kaum muslimin menggali ilmu-ilmu keislaman. Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan semakin tinggi berkat pemahaman terhadap Al-Quran yang mendorong agar muslim senantiasa menggunakan akalnya. Ibnu Taimiyah mencatat bahwa banyak dari kalangan sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah tersebut.
Tidak lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al-Syafi’i (w.204/819), dan yang lainnya.
Tradisi keilmuan tersebut kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke abad dan mengalami puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai pada abad ke-12 M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains dan teknologi, seperti Al Khawarizmi, bapak matematika muslim (w. 780 M) yang namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina bapak kedokteran muslim yang dikenal dengan sebutan Aviecena dan masih banyak tokoh intelek muslim lainnya.
Setelah itu, generasi berikutnya juga demikian. Dalam membangun tradisi keilmuan, para ulama berjuang dengan sepenuh tenaga. Bukti cintanya kepada Islam ditunjukkan melalui kegiatan-kegiatan keilmuan seperti Ibnu Al Jauzi menulis lebih dari 1000 judul buku. Imam Ahmad pernah menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk mendapatkan satu hadits. Imam Syafi’i pernah terjaga semalaman sampai tiba waktu fajar demi mempelajari saru hadits dan satu masalah, begitu Ibn Katsir, Ibn al Qayyim al Jauziyyah, Ibnu Hajar, al Suyuthi dan ulama besar lainnya. Mereka menyisihkan hampir lebih dari 15 jam per hari untuk membaca dan menulis, sehingga melahirkan karya-karya yang monumental dan memiliki manfaat besar bagi umat.
Para ulama yang merupakan pewaris para Nabi ketika itu begitu gigih dalam mengembangkan keilmuan. Merekalah yang telah berjasa menjaga otentisitas Islam sehingga kita dapat mewarisi agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW ini. Kegigihan para ulama dalam mengembangkan keilmuan Islam begitu tingginya. Tradisi keilmuan itulah yang mampu mengantarkan kejayaan Islam dalam berbagai bidang kehidupan.
 Wajarlah jika Islam pada saat itu menjadi peradaban maju dan kuat karena ditopang oleh manusia-manusia kuat dalam membiasakan tradisi keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebangkitan Islam, kebangkitan negara, masyarakat atau individu muslim mesti dimulai dengan kebangkitan budaya ilmu. Jadi, jangan bermimpi umat Islam akan memimpin dunia, bila tradisi ilmu belum membudaya dalam tubuh umat Islam sendiri.
Oleh karena itu, pesan moral terpenting dalam hijrah ini adalah sebagai peningkatan spiritual sekaligus intelektual sebagaimana hijrah dari keyakinan yang mengingkari Tuhan menuju kepada sikap mengimani Tuhan berikut seluruh visi dan misi-Nya. Keyakinan tersebut tentunya tidak hanya didasarkan pada taqlid semata namun juga harus disertai dengan ilmu. Dari sini maka posisi ilmu dalam hijrah menjadi unsur penting sebagai peneguh iman demi terwujudnya iman yang ilmiah begitu juga ilmu yang imaniah. Wallahu a’lam bish-shawwab.

No comments: