Monday 23 May 2011

Melacak Argumentasi Nietszche Tentang Kematian Tuhan & Moralitas

Oleh: Alex Nanang Agus Sifa


Pendahuluan
Permasalahan ketuhanan merupakan permasalahan besar yang muncul sejak manusia mulai menggunakan nalar berfikirnya secara mendalam.[1] Dikatakan permasalahan besar dikarenakan banyak dari kalangan filosof dan teolog yang memiliki perhatian dan perbedaan pandangan secara signifikan. Perbincangannya-pun merupakan diskusi yang usianya seumur keberadaan manusia. Diduga kuat pada diri manusia memang memiliki bakat ber-Tuhan dan potensi untuk beragama (sensus religious).[2]
Di dunia Barat yang mayoritas Kristen, setelah masa pencerahan yang ditandai dengan bangkitnya rasionalisme dan empirisme, bermunculan para pendobrak Tuhan. Di antara tokoh tersebut adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900).[3]
Alasan pemilihan Filsafat Nietzsche sebagai tema tulisan ilmiah ini adalah  ketertarikan untuk mengetahui lebih banyak tentang Nietszche dan pemikirannya. Terutama adalah untuk mengetahui tentang sejarah kehidupan Nietzsche. Bagaimana dia dapat memiliki pemikiran-pemikiran yang menolak filosof-filosof sebelum dirinya dan mengapa dia memiliki penolakan yang seakan radikal terhadap agama. Selain hal di atas, pemilihan tema ini juga didasarkan pada data yang cukup mengenai sejarah hidup Nietzsche. Makalah yang sederhana ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas, dengan maksud agar nantinya dapat diketahui bagaimana pemikiran dari Nietzsche yang berakhir pada kesimpulan bahwa Tuhan telah mati.
Sekilas Biografi Nietzsche 
Friedrich Nietzsche lahir di Rocken, Jerman tahun 1844. Ayah Nietzsche adalah seorang pastur yang sederhana.[4] Kakeknya, Friedrich August Ludwig juga seorang pendeta.[5]
 Kehidupan Nietzsche dibedakan dalam tiga tahap, pertama, hidupnya dikuasai oleh pandangan yang pesimistis, yang menganggap kesenian sebagai alat untuk melarikan diri dari kenyataan hidup. Kedua, hidupnya dikuasai oleh pandangan positivistis, yang menonjolkan bukan semangat yang berkobar, melainkan penganalisaan yang kritis, dengannya segala pengungkapan roh dianalisa. Dan ketiga, kehidupannya mewujudkan kritik atas segala sikap hidup yang berbeda dengan sikapnya itu, terlebih terhadap agama Kristen.[6]
Selain menjadi murid Schopenhauer, Nietzsche juga sangat tertarik oleh komponis Wagner. Akan tetapi akhirnya, Nietzsche memilih kebebasannya sendiri dengan memberontak terhadap Schopenhauer dan Wagner. Dia menulis polemic melawan Wagner dalam dua buku, yaitu ‘Memperkarakan Wagner’ (1888) dan ‘Nietzsche versus Wagner’ (1895).[7]
Berawal dari ketertarikannya terhadap Schopenhauer,[8] ia mulai menciptakan karya-karya filologis. Beberapa tahun kemudian ia meluncurkan buku pertamanya, The Birth of Trgedy, yang berisi tentang tragedy Yunani. Setelah buku pertamanya ini, Nietzsche mulai banyak memunculkan pemikiran–pemikiran baru dan juga buku-buku baru. Pemikiran-pemikirannya juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang sempat ia temui dalam hidupnya, seperti Richard Wagner, Bismarck, Freud dan Darwin. Karya-karya Nietszche yang terpenting adalah:Unzeitgemässe Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer/1873-1876), Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu manusiawi/1878-1880), Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra/1883-1885),Jenseits von Gut und Böse (Melampaui kebajikan dan kejahatan/1886),Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral/1887), Frohliche Wissensenschaft Wille Zur Macht(tidak terselesaikan /1882).[9] Selain itu, karyanya yang tidak kalah penting adalah yang berjudul Beyond Good And Evil yang ditulis pada tahun 1885-1886,[10] dan juga masih banyak karyanya yang lain.
Pembuka Pintu Gerbang Post-Modernisme
Postmodernisme merupakan sebuah gerakan kekinian (contemporary movement) yang kuat dan menjadi trend.[11] Kemunculah postmodernisme ini sebenarnya tidaklah secara tiba-tiba, tapi dipengaruhi oleh pemikiran para filosof seperti Nietzsche, Husserl, Wittgenstein serta para pemikir struktulisme seperti Lacan dan Foucault.  Nietzsche sendiri adalah filosof penting bagi kemunculan post-modernisme.[12] Walaupun sebenarnya dia hidup pada abad ke-19, namun pengaruh pemikirannya melebihi zamannya.[13]
Nietzsche beranggapan bahwa ia menulis untuk khalayak di masa depan yang lebih apresiatif. Diantara pemikiran-pemikiran Nietzsche yang sangat mempengaruhi para pemikir post-modernisme diantaranya pemajemukan kesadaran modern melalui cerita rakyat, relativitas nilai, makna dan tatanan nilai yang tidak obyektif dan anti kemapanan.[14]
Kritik Nietzsche Atas Moralitas
Nietzsche mengenalkan metode genealogi melalui karyanya Genealogy of Moral. Dalam buku ini ditulis bahwa kita tidak kenal dengan diri kita, kita manusia yang berpengetahuan dan berakal cukup.[15] Tema yang diusung oleh Nietszche adalah bahwa manusia yang mengalami kegagalan, itu dikarenakan  kurangnya keberanian, untuk menyingkapkan apa yang berada di dalam fondasi eksistensi manusia, khususnya moralitas, walaupun mungkin manusia memandang diri mereka memiliki informasi luas, berpengalaman dan berpengetahuan.[16]
Di sini Nietszche megungkapkan fakta bahwa manusia telah menekan dan bersembunyi dari diri mereka sendiri. Nietszche mencoba melakukan penyembuhan ketika manusia tertipu oleh diri mereka sendiri.[17] Dan dia juga mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan untuk dirinya sendiri melalui dua pendekatan, yaitu; pertama, menjelaskan pemahamannya tentang asal-usul dan sifat perbedaan antara baik dan buruk (good and bad) dan antara baik dan jahat (good and evil), kedua, menyingkapkan klaimnya bahwa kebutuhan kita adalah untuk bergerak melalui kebaikan dan kejahatan.[18]
-       Moralitas Majikan (Master Morality) Dan Moralitas Budak (Slave Morality)
Yang menjadikan keberatan Nietzsche terhadap agama Kristen adalah keberatan terhadap ajaran yang menyebabkan diterimanya apa yang ia sebut moralitas budak. Nietzsche tidak tertarik terhadap kebenaran metafisis atau agama Kristen,[19] ataupun agama apa saja; dengan yakin bahwa tidak ada agama yang sungguh-sungguh benar, ia menimbang semua agama seluruhnya dengan efek sosialnya. Ia sepakat dengan filosof-filosof yang menolak penyerahan diri kepada apa yang diduga sebagai kehendak Tuhan, tetapi ia menggantinya dengan kehendak seniman-tiran yang membumi. Penyerahan adalah baik, kecuali bagi manusia-manusia super, tetapi bukan kepada Tuhan Kristiani. Karena agama Kristen adalah kebohongan yang paling fatal dan paling menawan yang ada.[20]
Dalam filsafat Nietzsche juga disebutkan bahwa moralitas ada dua, yaitu moralitas tuan dan moralitas budak. Moralitas tuan pada awalnya adalah moralitas yang baik. Yang menganut moralitas tuan adalah kaum yang kuat sedangkan yang menganut moralitas budak adalah kaum yang lemah. Pada awalnya kaum kuat berada di atas. Namun, semakin lama mereka semakin menerima pula moralitas budak. Sehingga kaum yang kuat semakin berkurang jumlahnya. Akibatnya kaum yang lemah menjadi semakin banyak dan pada akhirnya mereka yang lemah dan tertindas ini membalikkan keadaan. Sehingga moralitas tuan yang tadinya dianggap moralitas yang baik berganti menjadi moralitas yang buruk, begitu pula sebaliknya.[21]
Pengertian baik mempunyai pengertian yang sangat berlainan. Pengertian baik bagi majikan (tuan) adalah perasaan jiwa yang tinggi, yang bangga dan megah. Sedangkan baik bagi budak adalah apa yang damai, yang tidak merugikan dan yang menaruh belas kasihan. Dan yang disebut jahat bagi majikan (tuan) adalah apa yang berlaku umum, yang biasa, yang tak bernilai. sedangkan jahat bagi budak adalah segala sesuatu yang menonjol melebihi kawanan seluruhnya, jadi yang luar biasa, yang tidak dapat diperhitungkan dan yang berbahaya.[22]
Berbeda dengan moralitas orang Athena kuno, yaitu moralitas heroisme dan penguasa, moralitas Kristen telah menjadikan orang yang lemah dan biasa sebagai contoh moral. Yang paling buruk, pandangan dunia moral Kristen telah mendorong orang untuk menganggap kehidupan alam akhirat sebagai sesuatu yang lebih penting daripada kehidupan di dunia ini. Bukannya mendorong pemajuan diri dalam istilah-istilah duniawi, visi moral Kristen malah menekankan pemantangan pada hal-hal pementingan diri tersebut. Dalam hal ini, Nietzsche memprotes, adalah perbuatan bodoh, dan itu akan mengakibatkan (dan sudah mengakibatkan) kehancuran umat manusia.[23]
-       Eksistensi Manusia
Manusia luhur menurut Nietzsche pada dasarnya adalah jelmaan kehendak untuk berkuasa.[24] Akan tetapi dalam kehendaknya untuk berkuasa, manusia tidak boleh melawan realitas. Jika manusia melawan realitas maka kehidupannya akan menderita karena terkadang manusia memiliki keinginan yang berlawanan dengan realitas. Apabila keinginan itu terus dipaksakan, maka manusia harus melawan realitas, sedangkan menurut Nietzsche yang terjadi tidak dapat dihindari. Sehingga untuk melawan realitas adalah sia-sia. Sehingga lebih baik manusia menerima hidup apa adanya dengan lapang dada.
Selain itu manusia harus membuat hukum untuk dirinya sendiri, ini bertujuan agar manusia dapat menjadi majikan atas dirinya sendiri. Dengan membuat hukum untuk dirinya sendiri, manusia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi kehidupan. Dengan dua prinsip tersebut maka manusia dapat hidup menjadi manusia yang kuat dalam menghadapi hidup yang merupakan penderitaan.
Nietzsche juga memiliki pemikiran tentang si manusia super, Manusia yang ideal adalah manusia atas atau superman (Ubermensch).[25] kekuatan dan pengulangan abadi. Manusia super menurut Nietzsche adalah tingkat tertinggi dari kemanusiaan. Namun, tingkat ini hanya bisa dicapai ketika massa dikorbankan kepada kaum elite. Hanya siapa yang dapat berkorbanlah (menderita) yang dapat berpikir, dan hanya pemikirlah yang sungguh-sungguh dapat menjadi penguasa.[26] Kekuatan menurut Nietzsche adalah hukum dari suatu masyarakat yang ‘sehat’. Masyarakat dianggap sakit bila ia menyerah pada paham ‘martabat manusia’ dan ‘martabat kerja’. Sedangkan pengulangan abadi menurut Nietzsche adalah mengenai kehidupan ini yang sebenarnya terus berulang dari masa ke masa.[27].
Will For Power
Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan-gagasan Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yang lebih berguna atau yang memberikan manfaat segera.Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa (Will For Power).[28] Menurutnya, Pikiran merupakan alat mengendalikan insting (kehendak untuk hidup dan berkuasa). Dan pengetahuan memiliki nilai jika dapat meningkatkan dan mempertahankan kehidupan.[29]
Seperti halnya Schopenhourer, Nietzsche bersikukuh bahwa manusia dan makhluk lainnya yang ada di alam pada dasarnya penuh kehendak,[30] namun Nietzsche melangkah lebih jauh dan menyarankan bahwa kita (dan semua makhluk alam) memiliki kehendak untuk berkuasa,[31] yang didorong oleh keinginan untuk memperbesar vitalitas dan kekuasaan kita. Menurut Nietzsche, bertahan hidup adalah bersifat sekunder. Dia menentang pesimisme Schopenhourer tentang makna kehidupan, Nietzsche menegaskan bahwa vitalitas itu sendirilah arti kehidupan, dan penerimaan kehidupan haruslah menjadi kesimpulan filsafat, bukan penolakannya, bukan pula pengunduran dari dirinya.[32]
Tuhan Telah Mati
Keyakinan yang mendasari pemikiran Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah mati. Hanya manusia yang masih hidup.[33] Dunia ini masih berarti karena “manusia atas”. Maka orang harus setia pada dunia ini, dan tidak perlu percaya akan adanya harapan-harapan yang mengatasi dunia.[34]
            Menurutnya, karena Tuhan sudah tidak ada, dan tidak ada dunia selain dunia yang sekarang, maka segala moral, etika dan nilai-nilai tidak mungkin bersifat transendental.[35] Mustahil akan datang ke dunia ini dari suatu tempat lain di luar dunia ini sebab memang tidak ada tempat yang lain. Moral, etika dan nilai-nilai harus diciptakan oleh manusia.[36] Menurutnya apabila kita dapat mengerti bahwa kita manusia inilah yang menjadi pencipta kehidupan kita sendiri, maka sadarlah kita bahwa kita bebas untuk memilih nilai-nilai apapun yang ingin kita miliki.[37] Dan nilai-nilai ini yang tentu saja adalah nilai-nilai yang telah mengantar kita keluar dari kebinatangan dan membangun kebudayaan, yaitu eliminasi yang lemah oleh yang lebih kuat dalam setiap aspek kehidupan.
Menurutnya, agama Kristen dan gambarannya tentang Tuhan yang transenden, maha kuasa, maha tahu, adil dan pengasih pada dasarnya mengingkari dan menegasikan semua yang berharga di dunia ini. Agama Kristen mengklaim bahwa keebasan yang sebenarnya tercapai di dalam pengabdian kepada Tuhan, tetapi agama Kristen mengingkari kebebasan kreatif dengan menegaskan bahwa dunia dan struktur nilainya telah lengkap dan telah ditetapkan Tuhan. Agama Kristen mengklaim menawarkan kebebasan dari dosa dan kesalahan kepada manusia, tetapi hal ini dilakukan dengan mengorbankan dirinya ke dalam kehampaan yang tak berdaya dan tanpa harapan. Agama Kristen mengunggulkan doktrin cinta dan derma, tetapi ajaran ini benar-benar bersandar pada perasaan kebencian dan balas dendam yang diarahkan pada sifat kebangsawanan yang sejati.[38]
Untuk menjawab persoalan tersebut maka Nietzsche menegaskan bahwa Tuhan telah mati. Dengan demikian maka fondasi moralitas Kristen akan terhapuskan, sehingga orang lebih mudah untuk bergerak melampaui baik dan jahat. Dia menunjukkan pada manusia bahwa kepercayaan kepada Tuhan menyebabkan sakit dan prestasi tertinggi di dalam kehidupan manusia tergantung pada hilangnya kepercayaan ini. Dengan ini, Nietzsche berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada dan dari asumsi ini bergerak untuk berkonsentrasi pada tugas psikoterapi untuk membebaskan manusia dari ide bahwa mereka bergantung pada Tuhan.[39]
Kesimpulan
Nietzsche adalah filosof penting bagi kemunculan post-modernisme. Walaupun sebenarnya dia hidup pada abad ke-19, namun pengaruh pemikirannya melebihi zamannya. Pandangan dunia moral Kristen menurutnya telah mendorong orang untuk menganggap kehidupan alam akhirat sebagai sesuatu yang lebih penting daripada kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu Nietszche mencoba melakukan penyembuhan agar manusia tidak tertipu oleh diri mereka sendiri.
Manusia yang ideal menurutnya adalah manusia atas atau superman (Ubermensch). Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa (Will For Power). Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia menjadi pencipta kehidupannya sendiri. Dengan demikian hanya manusia yang masih hidup. Keyakinan inilah yang mendasari pemikirannya bahwa Tuhan telah mati.











DAFTAR PUSTAKA

Fabijanovic, Stephanus,  As I See Nietsche (Los Angeles: 109 Labor Temple, 1920)
Gellner, Ernest, Postmodernism, Reason & Religion (London: Routledge, 1992)
Ghilab, Muhammad, Musykilat al-Uluhiyyah (Kairo: Daru Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1947, cet. Ke-2)
Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
Magee, Bryan, The Story Of Philosophy, terj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2008)
Mudhofir, Ali, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Munir, Misnal, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Lima, 2008)
Nietzsche, Friedrich, Beyond Good And Evil; Prelude Menuju Filsafat Masa Depan, terj. Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002)
_______________, The Joyful Wisdom, trans. Thomas Common (London: NtN Voulis, tt)
Patrick, George Thomas White, Introduction To Philosophy (London: George Allen & Unwin Ltd)
Robinson, Dave,  Nietzsche and Postmodernism (UK: Cox & Wyman Ltd., 1999)
Roth, John K., Persoalan-Persoalan filsafat agama; Kajian Pemikiran 9 Tokoh Dalam Sejarah Filsafat Dan Teologi, terj. Ali Noer Zaman ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. Ke-3)
Salomon, Robert C. dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003, cet ke-2)
SIM, Stuart, The Routledge Companion To Postmodernism (London: Routledge, 2001)
Stuerman. Walter E., The Human Prospect When God is Dead dalam Donald E Hartsock (ed), Contemporary Religious Issues (Los Angeles: University of California, Wadsworth Publishing, 1968)
Trueblood, David, Filsafat Agama, terj. Prof. Dr.H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1965)
Joachim Wach, The Comparative Study Of Religion (New York: Columbia University Press, 1958)
Waugh, Patricia, Postmodernism (USA: Routledge, Chapman and Hall, 1992)




[1] Muhammad Ghilab, Musykilat al-Uluhiyyah (Kairo: Daru Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1947, cet. Ke-2), p. 13
[2] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religion (New York: Columbia University Press, 1958), hal. 39.
[3] Walter E Stuerman. The Human Prospect When God is Dead dalam Donald E Hartsock (ed), Contemporary Religious Issues (Los Angeles: University of California, Wadsworth Publishing, 1968), p. 186.
[4] Dave Robinson,  Nietzsche and Postmodernism (UK: Cox & Wyman Ltd., 1999), p. 4
[5] Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 374
[6] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal.127. Agama Kristen adalah lambang pemutarbalikkan nilai-nilai. Karena yang dipandang sebagai jiwa Kristiani adalah yang menolak sebagai yang alamiah sebagai hal yang tidak layak. Pengertian Tuhan (Allah) dalam agama Kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Allah. Sebab Allah dipandang sebagai Allah anak-anak piatu dan janda-janda, Allah orang-orang sakit. Allah dipandang sebagai roh yang bertentangan dengan hidup ini. (Dr. Harun Hadiwijono, Ibid, hal. 128-129).
[7] Bryan Magee, The Story Of Philosophy, terj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 172
[8]Nietszche sependapat dengan Schopenhauer bahwa tidak ada Tuhan dan bahwa kita tidak memiliki jiwa yang abadi (Bryan Magee, Ibid, hal. 172).
[9] Ali Mudhofir, Op.Cit, hal. 375
[10] Buku ini merupakan buku kritis sekaligus reflektif, buku yang tidak menghindari kesimpulan sekalipun kesimpulah tersebut sangat kasar, buku yang berani menantang kebenaran-kebenaran konvensional dan menyajikan pandangan utopian atau mungkin dystopian. Friedrich Nietzsche, Beyond Good And Evil; Prelude Menuju Filsafat Masa Depan, terj. Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hal. xxix
[11] Untuk lebih jelasnya tentang postmodersnisme lihat Ernest Gellner, Postmodernism, Reason & Religion (London: Routledge, 1992), p. 22
[12] Bahkan dia bisa dipandang sebagai perintis penting dalam kebanyakan pemikiran postmodern (He can be seen as the major precursor of much postmodern thought) lihat dalam bukunya Patricia Waugh, Postmodernism (USA: Routledge, Chapman and Hall, 1992), hal. 4. Lihat juga dalam bukunya Stuart SIM, The Routledge Companion To Postmodernism (London: Routledge, 2001), p. 3
[13] Menurut Post-modern, yang ada hanyalah interpretasi-interpretasi (Robert C. Salomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003, cet ke-2), hal. 541).
[14] Misnal Munir, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Lima, 2008), hal. 129. Dia juga membela pengertian perspektivisme, ide bahwa semua kebenaran bersifat relative bagi perspektif tertentu, yang berubah-ubah secara historis dan individual, yang tidak dapat dihindari (Robert C. Salomon dan Kathleen M. Higgins, Op.Cit, hal. 426).
[15] We are unknown to ourselves, we man of knowledge and with good reason. Lihat dalam John K. Roth, Persoalan-Persoalan filsafat agama; Kajian Pemikiran 9 Tokoh Dalam Sejarah Filsafat Dan Teologi, terj. Ali Noer Zaman ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 299
[16] John K. Roth, Ibid, hal. 229
[17] John K. Roth, Ibid, hal. 229
[18] John K. Roth, Ibid, hal. 230
[19] Nietsczhe memandang bahwa penganut Kristen (Crhistianity) merupakan fase akhir yang paling berbahaya atau merugiakan (the latest and most pernicious stage). Lihat dalam bukunya Dave Robinson,  Nietzsche and Postmodernism, Loc. Cit., p. 10
[20] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. Ke-3), hal. 995-996
[21] John K. Roth, Op.Cit.  hal. 300
[22] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit, hal. 128
[23] Robert C. Salomon dan Kathleen M. Higgins, Op.Cit,  hal. 424
[24] Menurutnya manusia luhur bukanlah sebagai tipe universal, melainkan sebagai aristocrat yang memerintah (Bertrand Russel, Op.Cit, hal. 996-997).
[25] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit, hal. 129. Seorang manusia yang mengembangkan potensinya secara maksimal akan menjadi manusia super. Dan karena alasan itulah dia menciptakan istilah superman, yang kini menjadi kata yang dikenal di seluruh dunia (Bryan Magee, Op.Cit, hal. 174).
[26] Dr. Harun Hadiwijono, Ibid, hal. 129
[27] Menurutnya, manusia hidup bukanlah untuk kesenangan, dan itu hanya orang Inggris yang melakukannya Robert C. Salomon dan Kathleen M. Higgins, Op.Cit, hal. 418.
[28] Robert C. Salomon dan Kathleen M. Higgins, ibid, hal. 423. Lihat juga pada halaman 424 yang menyatakan bahwa Nietzsche memuji orang Yunani kuno karena pandangan etisnya yang menekankan pengembangan mutu yang sangat baik, dan kemuliaan dalam menghadapi nasib berbeda dengan obsesi gelap agama Yahudi-Kristen dengan dosa dan rasa bersalah.
[29] Ali Mudhofir, Op.Cit, hal. 374-375
[30] Pernyataan ekstrim Nietzsche bisa dilihat dalam bukunya George Thomas White Patrick, Op.Cit, hal. 399; “let us say ‘yes’  to our desires, to our instincts, to our natural passions, to our inner needs. Let us say ‘yes’ to our political, economic and commercial ambitions. Let us say ‘yes’ to our individual traits, to our budding genius, to our personality, to our need of self-expression.”
[31] George Thomas White Patrick, Introduction To Philosophy (London: George Allen & Unwin Ltd), hal. 114
[32] Robert C. Salomon dan Kathleen M. Higgins, Op.Cit,  hal. 424
[33] Karena manusia yang ideal adalah manusia atas, maka pemikiran inilah yang mendorongnya pada keyakinan bahwa Tuhan (Allah) telah mati. Hanya manusia ataslah yang masih hidup. Lihat Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit, hal. 129
[34] Ali Mudhofir, Op.Cit, hal. 375. Menurutnya, Tuhan merupakan sesuatu hal yang terlalu rumit Stephanus Fabijanovic, As I See Nietsche (Los Angeles: 109 Labor Temple, 1920), p. 87
[35] Trancedent yakni anggapan bahwa Tuhan di luar alam. Berbeda dengan immanent yang berarti anggapan bahwa Tuhan dalam alam  termasuk manusia. Lihat dalam bukunya David Trueblood, Filsafat Agama, terj. Prof. Dr.H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hal.165
[36] Bryan Magee, Op.Cit, hal. 174.
[37] Bryan Magee, Ibid, hal. 174
[38] John K. Roth, Op.Cit,  hal. 309-310
[39] Untuk memperjelas gagasannya tentang kematian Tuhan, Nietzshe dalam salah satu karyanya membuat ilustrasi orang gila yang mondar-mandir di pasar sambil berujar, “Tidakkah kita mendengar kesibukan para penggali kubur yang sedang mengubur Tuhan? Apakah kita tidak mencium bau bangkai Tuhan? Bahkan Tuhan telah menjadi busuk dan mati. Tuhan akan tetap mati, dan kita telah membunuhnya.” Lihat Friedrich Nietzshe, The Joyful Wisdom, trans. Thomas Common (London: NtN Voulis, tt), 167. Lihat juga (John K. Roth, Ibid.  hal. 311).

No comments: