Monday 23 May 2011

Nalar Yahudi

Alex Nanang Agus Sifa
Anggota Centre For Islamic & Occidental Studies ISID Gontor

Masih ingatkah kita, kisah dari beberapa ayat Al-Qur’an tentang ulah kaum Yahudi? Kecerdasan akalnya yang tidak dikendalikan dengan kokohnya wahyu Allah yang diajarkan rasul-Nya, ternyata justru memunculkan cara nalar yang sangat liar, memicu berbagai kekacauan dan kerusakan, seperti yang kita saksikan sekarang ini diberbagai media. Mereka dengan seenaknya membantai warga sipil palestina yang tidak bersalah, bahkan kebanyakan korban diantaranya para wanita dan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.

Dahulu di zaman nabi Musa AS, di bawah prakarsa tokohnya yang bernama Samiri, kaum Yahudi ini pernah sepakat untuk menyembah suara patung sapi dari emas (lihat QS.Al-Baqarah: 51, Al-A’raf: 148 dan Thaha: 88-89, 95-96) (ya’buduuna ashwata al-baqarah). Dan sekarang,dibalik tabir tebal nan gelap bernama demokrasi, Yahudi mengajarkan kepada anak manusia untuk menyambah suara rakyat (ya’buduuna ashwata al-ummah).

Agaknya setelah cukup berhasil menggiring dan merangkap melalui isme-isme umpan pengantarnya, kini Yahudi optimis sukses mengendalikan manusia melalui demokratisme. Fenomenanya memamg cukup mengerikan. Mulut raksasa ghazwul fikri yang satu ini memang cukup besar dan lebar, bagaikan keranjang sampah, semua ditelan dan dicampur aduk menjadi satu. Tak heran (meskipun cukup memperihatinkan) jika pihak yang kemarin lantang berteriak “awas ghazwul fikri” !!! kini sebagiannya mulai terkecoh, lalu terbelit kode etik demokratisme itu. Meskipun masuknya atas nama strategi dakwah, namun gelagatnya tampak penuh fitnah, hasil plusnya belum nyata tapi minus-minusnya sudah tampak jelas.

Pamor demokrasi menjadi lebih tersohor, lebih agung, lebih membumi dan membenak di tengah-tengah manusia daripada paham islam. Dan kini orang tidak puas dengan islam jika tidak diembel-embeli dengan islam demokratis. Dimana-dimana kasusnya serupa, bahwa pada dasarnya konseptor isme-isme selain islam adalah ahlul bathil atau para munafik yang tidak puas dengan tegaknya syariat islam.

Sebenarnya demokratisme tidaklah tampil sendirian di dalam aksinya merusak aqidah, pemhahaman dan loyalitas umat islam. Ia hanyalah satu dari sekian banyak rombongan isme-isme yang digerakkan oleh Yahudi melalui gerakan internasionalnya, zionisme dan fremansory. Di dalam majalah Kabana Edisi 61 (majalah khusus Fremansory Asia Raya) diulas dengan jelas tentang asas-asas gerakan zionisme dan fremansory di seluruh dunia, yaitu yang disebut khoms qonun (lima dasar). untuk  fremansory kelima dasar itu adalah; monotheisme, nasionalisme, Humanisme, demokratisme dan sosialisme. Sedangkan untuk zionisme kelima dasar itu adalah; internasionalisme, nasionalisme, sosialisme, monotheisme cultural dan demokrasi.

Meskipun urutannya berbeda, namun substansi dasar, makna, misi dan visi yang dikehendaki adalah sama saja. Yaitu tidak puas, menolak (kufur) dan memusuhi syariat islam. Dan dimana saja isme-isme itu ditegakkan, maka saksikanlah di bawah ketiaknya bersarang berbagai aliran kebathilan, semua akan dilindungi, diterima, diakui dan dipelihara. Kemudian berbagai aliran itu cepat sekali berkembang biak dan menyebar, menyusup, menjangkiti pribadi-pribadi manusia, dan itu semua tetap dijamin aman oleh para tokoh zionis, bahkan dibanggakan sebagai ragam budaya.

Salah satu dasar yang agaknya paling hebat daya kecohnya terhadap umat islam adalah monotheisme (ketuhanan yang maha esa atau keesan tuhan). Dan ternyata monotheisme yang dimaksudkan oleh Yahudi bukanlah seperti tauhidullah dalam islam, bahkan bertentangan 180 derajat. Maksud monotheisme mereka adalah sebagimana yang diteriakkan oleh sesepuh mereka: “Wahai bangsa Yahudi, hendaklah kalian bertuhan dengan tuhan kalian masing-masing dan tetaplah merupakan kesatuan gerak. Maka wahai orang-orang atheis dan yang bebas dari bangsa Yahudi, hendaklah kalian bertuhan dengan tuhanmu sendiri. Bukankah alam dan hukum/kodrat alam itu tuhan kalian juga? Kalian berlainan agama, kalian berlainan kepercayaan dan aqidah, tetapi kalian harus tetap bersatu. Dan gunung zionisme telah menantimu, hendaklah kalian hormat menghormati wahai Yahudi seluruh dunia….!”

Kemudian mereka mengatakan tentang demokrasi: “dengan cahaya Talmud dan Masna dan segala ucapan imam-imam yang agung bahwa telah diundangkan anjuran: “bernusyawarahlah dan berapatlah dan berlakukanlah pilihan kehendak suara terbanyak itu, karena suara terbanyak adalah suara Tuhan”.

Begitulah aqidah mereka mengajarkan suara rakyat adalah suara Tuhan. Padahal bagi umat Islam yang aqidahnya adalah tauhidullah, mengagungkan Asma dan Sifat Allah dan berprinsip bahwa: “jangankan hanya suara rakyat manusia sebangsa, suara manusia seduniapun atau bahkan suara seluruh makhluk sekalipun tidak akan pernah layak untuk disetarakan (apalagi dianggap sama) dengan suara Allah. Ketetapan Allah yang telah disampaikan melalui rasul-Nya tidak boleh dihapuskan oleh kesepakatan manusia meskipun seluruh manusia tersebut bersatu untuk menentangnya.”Begitulah nalar Yahudi, yang tidak akan puas jika manusia belum terjauh dari islam lalu mati dalam kondisi tidak islam lagi. Ia akan selalu berteriak dengan suara-suara yang dihias agar umat islam terkecoh, lalai dari komitmen keislamannya. Nalar Yahudi ini pernah menampakkan demokrasinya di Perancis dengan wajahnya; freedom, fraternity dan equality (demi kebebasan, persaudaraan dan persamaan) yang akhirnya meledakkan revolusi perancis. Entah berapa manusia telah tewas di dalamnya.

Abdullah Patani, seorang sarjana lulusan Madinah Universirty yang telah lama berkutat dengan zionisologi, menulis risalah tentang “Fremansory di Asia Tenggara” pada tahun 1400 H. beliau menjelaskan bahwa salah satu doktrin fremansory/zionisme yang sangat mendasar adalah FLOATISME (pengambangan). Doktrin ini mengemban misi untuk membuat pengambangan atas seluruh ajaran agama-agama, keyakinan-keyakinan, ideology dan sebagainya, sehingga setiap pemeluk agama tidak berani lagi menyatakan keyakinan, pemahaman dan ajaran agamanya secara khusus (eksklusif) di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua agama harus mencari titik temu/persamaan agar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak didominasi oleh agama tertentu, tetapi agar bisa diurusi bersama.

Institusi paham floatisme ini memang tidak tampak bentuknya, tetapi pemikirannya sudah melanda kebanyak otak manusia. Jangan heran jika di negeri ini banyak tokoh-tokoh populer yang sudah terpengarbuh oleh nalar Yahudi dan menjadi pembantu gratis untuk memuluskan propagandanya. Mereka sering berkoar-koar bahwa seluruh agama, kepercayaan, keyakinan, ideology itu sama-sama benarnya, sepanjang ajarannya itu untuk kepentingan kemanusiaan dan menjaga persatuan bangsa. Agama adalah untuk masing-masing tuhannya, sedangkan Negara adalah untuk rakyat bersama, dan berbagai seruan-seruan lain yang senada.


dipublikasikan dalam http://www.suara-islam.com/news/berita/opini-si/2201-nalar-yahudi

No comments: