Monday 27 October 2014

Menengok Ulang Sejarah dan Substansi Kalender Hijriah

Oleh: Alex Nanang Agus Sifa, S.Fil.I

Peradaban Barat yang didominasi oleh budaya nasrani menjadikan kita, umat islam, semakin jauh dari nilai dan semangat (ghirah) islami. Hal ini terbukti dengan tidak sedikitnya kaum muslimin yang tidak mengetahui tentang identitas keislamannya. Budaya serta tradisi ala Barat terasa lebih kental dan menjiwai umat. Perhatian umat terhadap tradisi yang ada dalam Islam pun sudah mulai terlihat luntur. Salah satu contoh konkritnya adalah banyaknya kaum muslimin yang lebih mengenal kalender masehi (miladiyah) dibanding kalender milik kaum muslim itu sendiri, kalender hijriah. Untuk itu, di sini penulis akan sedikit membahas sejarah dan substansi kalender hijriah dengan harapan dapat dijadikan sebagai syiar Islam dan menghidupkan kembali tradisinya.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, belum dikenal nama tahun Hijriah, begitu juga pada masa  khalifah pertama Abu Bakar Sidiq, yang memerintah selama dua tahun setelah Nabi wafat. Tahun Hijriah pertama kali diperkenalkan oleh Khalifah kedua Umar bin Khatab yang  menggantikan Abu Bakar. Pada masa  pemerintahan Umar ini banyak kaum Muslimin yang mencari penanggalan Islam yang mana pada masa Nabi, masyarakat masih menggunakan hitungan tahun Gajah.
Untuk mengenang peristiwa besar tersebut, Umar bin Khattab mencetuskan peristiwa hijrah Nabi SAW sebagai awal tanggal dimulainya penanggalan Islam yang kemudian dikenal dengan kalender Hijriah. Hal itu dicetuskan Umar pada tahun 638, atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah berlangsung.
Penyebabnya ialah surat Abu Musa Al-Asyari yang ditujukkan kepada khalifah Umar bin Khottob. Dalam surat tersebut, Abu Musa Al-Asyari menulis: "Surat-surat kita sudah memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Menurut saya sekarang sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun".
Khalifah Umar bin Khottob kemudian menyetujui usulan tersebut dan langsung membentuk panitia yang diketuai langsung oleh beliau dengan enam anggota sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqas, Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan tahun pertama dari kalender yang selama ini telah digunakan. Ada yang mengusulkan agar dimulai dari tahun kelahiran Nabi (maulid an-nabi) dan ada yang mengusulkan dimulai dari tahun turunnya wahyu yang pertama (awwalu nuzuli al wahyi).
Semua usulan-usulan yang masuk, baik kelahiran Nabi maupun permulaan turun wahyu tidak diambil sebagai awal tahun Islam karena masih terjadi kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian sebenarnya. Usulan hari wafatnya Rasulullah juga tidak dijadikan permulaan kalender karena dipertautkan dengan kenangan-kenangan menyedihkan pada hari wafat beliau yang berkemungkinan akan menjadikan kesedihan bagi kaum muslimin. Yang disetujui adalah usulan sahabat Ali RA, yaitu dimulai dari tahun hijrah Nabi ke Madinah. Menurut Umar, hijrah dipilihnya karena hijrah adalah momen yang penting, dimana saat itu antara kebenaran (al haq) dan kebathilan (al bathil) dapat dipisahkan.
Ketika para sahabat sepakat menjadikan tahun peristiwa hijrah nabi sebagai tahun pertama kalender Islam, timbul permasalahan tentang awal bulan kalender. Ada yang mengusulkan Rabiul Awal, ada pula yang mengusulkan Muharram. Kemudian khalifah Umar berpendapat awal bulan hendaknya dimulai dari bulan Muharram, sebab pada bulan ini umat Islam baru pulang dari melaksanakan ibadah Haji, yang merupakan kesempurnaan dari rukun Islam (kaana al hajju tamama arkani al islam), di samping itu haji juga merupakan kewajiban terakhir dalam rukun Islam (akhiru ma faradha min al arkan al khomsah).
Pengertiannya secara umum, kalender Hijriah adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender Hijriah juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender ini menggunakan peredaran bulan (qomar) sebagai acuannya, berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan peredaran matahari. Kalender Islam ini dinamakan klender Hijriah, karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M.
Dalam Islam, hijrah adalah sebagai suatu peristiwa besar, dimana suatu pergerakan besar dan kehidupan yang lebih beradab dimulai, peristiwa pindahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah atas perintah Allah SWT.  Terlihatlah suatu komitmen kuat untuk menciptakan suatu kehidupan yang bernilai, mempunyai kemuliaan diri (izzatu-n-nafsi), meninggalkan hukum jahiliyah menuju hukum Allah. Dimulai dengan niat ikhlas Lillah, untuk memperbaiki diri,  untuk perbaikan orang lain dan lingkungan dan dilakukan secara nyata dalam hidupnya, hijrah lahiriah dan batiniah.
Bahkan, Dr. Muhamammad Husein Haikal dalam kitabnya “Hayatu Muhammad” melukiskan kisah hijrah ini sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran keyakinan dan keimanan. Begitu juga Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya “Madinan Society At The Time Of the Prophet: Its Characteristic & Organization” menceritakan bahwa dari peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW tersebut menjadikan penduduk Madinah bersatu. Berbagai macam suku di Madinah, seperti suku Aus, Khazraj, Muhajirin Quraisy dan suku arab lainnya dipersatukan di atas fondasi iman dan aqidah yang kokoh.
Dalam tradisi Islam, peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa yang sangat monumental. Peristiwa hijrah memiliki makna yang sangat tinggi, oleh karenanya khalifah Umar ibnu Khottob memilih dan menetapkan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan kalender Islam. Bukan dari kelahiran Nabi dan bukan dari awal turunnya wahyu. Tentu penetapan ini memiliki pertimbangan tersendiri. Khalifah Umar meletakkan proses hijrah sebagai hal yang sangat penting. Karena dengan hijrah seluruh mahluk Allah akan mengalami suatu dinamika dan perubahan, tidak monoton dan tidak statis. Disengaja atau tidak, direncanakan atau tidak, semuanya mengalami apa yang disebut sebagai proses hijrah, semuanya tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri yang tidak berubah.
Proses perubahan akan tetap dan terus berjalan sepanjang waktu. Seluruh kemajuan peradaban manusia yang terus menerus berlangsung selama ini merupakan suatu rangkaian dari proses hijrah. Untuk itu Islam meletakkan proses hijrah sebagai simbol, bahwa hijrah itu harus diartikan sebagai momentum untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik, lebih maju, lebih mulia dan lebih bermakna serta berada pada lingkungan rahmat dan keridhaan Allah SWT. Tanpa adanya usaha untuk berhijrah, mustahil kejayaan akan tercapai dan kemajuan umat akan berhasil. Tuntutan penghayatan hijrah berarti juga dengan adanya perubahan dalam diri, baik dari segi jiwa, mental dan fisik ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam.

(Artikel ini dimuat di Majalah Lampu, Lazis MAFAZA Peduli Umat Purwokerto)

No comments: