Tuesday 24 May 2011

MENILIK DISKURSUS KETUHANAN BARAT

Oleh: Alex Nanang Agus Sifa[1]


Pendahuluan
Perbincangan mengenai Tuhan merupakan diskusi yang usianya seumur keberadaan manusia. Diduga kuat pada diri manusia memang memiliki bakat ber-Tuhan dan potensi untuk beragama (sensus religious).[2] Dengan adanya “sensus religious” yang mengindikasikan manusia tetap butuh terhadap Tuhan, maka mengetahui Tuhan dengan benar menjadi sebuah keniscayaan (necessity).
Di dunia Barat sendiri yang mayoritas Kristen, setelah masa pencerahan yang ditandai dengan bangkitnya rasionalisme dan empirisme, bermunculan para pendobrak “Tuhan” yang puncaknya sampai pada pengumuman kematian Tuhan oleh Friedrich Nietzsche (1844).[3] Terlepas dari pernyataan bahwa Tuhan telah mati, yang jelas diskusi tentang Tuhan itu sendiri menjadi menarik dan penting. Letak penting dan menariknya bukan saja kerena sosok-Nya yang abstrak, tetapi secara faktual pemahaman tentang pemikiran Tuhan bagi peradaban manusia adalah lahirnya berbagai macam implikasi sosial dalam kehidupan dan pada akhirnya pemikiran dan pemahaman tersebut, sedikit banyaknya ikut andil dan berimplikasi dalam proses pengambilan kebijakan serta keputusan.
Di Yunani, sebelum munculnya para filosof, tradisi ketuhanan mereka menggambarkan adanya dewa-dewa yang memerintah alam, dan yang terpenting darinya adalah dewa keteraturan atau Zeus. Zeus digambarkan sebagai dewa yang Mahakuasa. Zeus memiliki anak-anak yang juga menjadi dewa-dewa, tetapi tidak kekal. Dia bukan pencipta alam dan sangat mengikuti kemauannya sendiri dalam menghadapi manusia.[4]
Kepercayaan terhadap dewa-dewa di atas umumnya digambarkan dalam bentuk cerita yang bersifat mitos dan tidak memuaskan kalangan ahli pikir (filosof). Oleh karenanya dengan berdasar atas kemampuan akal dan kecermatan membaca alam, maka para filosof berusaha menemukan Tuhan, yang lepas dari khayalan, menuju pada suatu logika berpikir yang sistematis. Dalam makalah ini akan dibahas secara singkat mengenai diskursus ketuhanan yang muncul di Barat, di mulai dari Yunani sampai abad
Tradisi Ketuhanan
Menurut Rudolf Otto seperti yang dikutip oleh Karen Armstrong, menyebutkan bahwa dalam diri setiap orang terdapat perasaan keyakinan terhadap adanya kekuatan yang lebih besar dan tinggi.[5] Kekuatan ini melampaui apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Karena kekuatan semacam ini di luar batas kemanusiaan, maka kekuatan tersebut menjadi sesuatu yang diagungkan bahkan dijadikan sesembahan.
Tradisi ketuhanan sendiri sebenarnya sudah dimulai pertama kali oleh orang Mesir. Menurut Muhammad Abu Zahrah, umat yang pertama kali percaya akan adanya Tuhan adalah Mesir. Ketika itu orang-orang Mesir memiliki Tuhan yang tidak tetap. Tuhan mereka berpindah-pindah dan berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Di setiap kota terdapat Tuhan, oleh karena itu Tuhan yang mereka sembah disebut Tuhan yang berada pada suatu tempat (Alihah Mahalliyyah). [6] Dan jika dilihat dari sisi historis, tradisi ketuhanan orang Mesir ini sudah berlangsung jauh sebelum tahun 4000 SM.[7]
Term Tuhan
Istilah Tuhan dikenal dalam berbagai macam bahasa. Diantaranya bahasa Samiyah yakni Ibri disebut (Eloh), Asywari (Ilu), Kaldani (Elah), itu semua berarti wajib adanya (wajibul wujud). Dalam Ariya yakni Sansekerta disebut (Deva), latin (Divus atau Dues), Yunani (Theos), Almania (Zott), Inggris (God), Italia (Iddio), Perancis (Dieu).[8]
Menurut Muhammad As-Sayyid Al-Julainid, Tuhan adalah sesuatu yang disembah kepada-Nya, tempat cinta, tempat kembali dan kemuliaan. Tuhan adalah yang mendidik hamba-Nya, menganugerahkan apa yang telah diciptakan-Nya kepada hambanya tersebut, dan memberi petunjuk dalam segala aspek baik itu yang bersifat ritual ibadah maupun yang bukan.[9]
Sedangkan menurut Alvin Plantinga & Michael Tooley, Tuhan adalah satu individu, tapi tidak seperti individu manusia karena Tuhan merupakan individu tanpa badan (God is a person without a body).[10]
Barat sendiri merasa kesulitan untuk mendefinisikan apa Tuhan itu. Keimanan Barat hanya berdasarkan kepada keyakinan buta yang harus diterima begitu saja. Ada yang berpedoman kepada Tertulian yang mengatakan "credo quia absurdum", atau "saya percaya karena dogma agama tidak masuk akal".[11]
Dalam bentuk yang lain, orang dituntut untuk mempercayai wahyu yang kemudian menjadi tahu akan apa yang diyakini. Sayangnya, wahyu tersebut tidak bernuansa pengetahuan, tidak epistemologis. Wahyu tidak dapat berirama dengan akal. Sedangkan akal dipaksa untuk mempercayai berbagai hal yang tidak masuk akal dalam wahyu. Pandangan seperti ini diyakini merujuk kepada St Anselmus yang mengatakan “credo ut Inteligam”, atau saya percaya karena saya paham.[12]
Eksistensi Tuhan
Tidak semua filosof Barat mengingkari akan eksistensi Tuhan. Hal itu disebabkan karena sisi historis dan sudut pandang yang mereka gunakan berbeda dalam melihat eksistensi Tuhan. Tulisan ini tidak sepenuhnya membahas tentang pandangan para filosof Barat akan eksistensi Tuhan. Tetapi tulisan ini akan melihat sebatas pandangan umum sebagai perwakilan filosof dari pengklasifikasian filsafat barat yang terbagi menjadi empat tahap. Yaitu pertama zaman Yunani yang akan diwakili oleh pandangan Aristoteles, zaman pertengahan yang akan diwakili oleh Thomas Aquines, zaman modern yang akan diwakili oleh Rene Descartes dan Immanuel Kant serta zaman postmodern yang akan diwakili oleh Friedrich Nietszche.
Aristoteles merupakan tokoh filosof Yunani yang dikenal sebagai “a monist” (percaya pada satu Tuhan).[13] Dalam pemikirannya, Tuhan dikenal dengan sebutan filsafat pertama ‘first philosophy’ (prōtē philosophia)[14] dan ilmu pertama ‘first science’ (prōtē epistēmē). Istilah falsafah pertama ini merupakan bentuk lain dari istilah yang sering disebut dengan metafisika.[15] Yaitu ilmu tentang wujud sebagaimana adanya (being qua being),[16] dalam artian ilmu yang membahas tentang wujudnya yang wujud atau ilmu yang membahas tentang asal-usul yang wujud. Singkatnya, ilmu ini membahas asas dasar ilmu[17] serta pokok-pokok wujud dan penyebabnya yang secara khusus dikaitkan dengan mengetahui Tuhan sebagai sebab utama (al-‘illat al-ula).[18] Teori ketuhanan Aristoteles ini berangkat dan memulai pandangan metafisikanya dari fisika[19] dan keyakinan bahwa bumi bersifat kekal (azali).
Thomas Aquines[20] sendiri merumuskan lima jalan dalam menunjukkan keberadaan Tuhan yaitu Tuhan sebagai penggerak pertama (prime motor), penyebab pertama (first cause), aktus murni (pure act) yang diasumsikan karena dia bisa bertindak, wajib adanya (necessary being) dimana keberadaan dan inti sarinya hanya satu sebagai bentuk kebalikan dari wujud yang mungkin (contingent being), dan puncak hirarki makhluk (the hierarchy of beings).
Di awal abad modern, muncul Rene Descartes yang terkenal dengan pandangannya bahwa manusia ada karena dia berpikir (cogito ergo sum).[21] Dia merupakan filosof yang membuktikan adanya dunia ini melalui Tuhan. Dunia materiil ini merupakan dunia luar dari ide sempurna (Tuhan).[22] Dengan demikian maka jelas bahwa walaupun Rene Descartes seorang rasionalis, akan tetapi dia masih percaya kepada eksistensi Tuhan.
Beberapa abad berikutnya, eksistensi Tuhanpun tidak luput dari pembicaraan. Salah satu filosof besar di abad tersebut adalah Immanuel Kant. Menurutnya, eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan secara teoritis melainkan sesuatu yang harus diterima sebagai bukti atau postulat dari budi praktis sebagai idea yang menyangkut kewajiban manusia mentaati hukum moral.[23] Karena kebebasan manusia bertindak adalah berdasarkan alasan moral.[24] Hal yang sama juga disampaikan oleh Michael Tooley. Karena sosok Tuhan yang abstak, dia berkesimpulan bahwa manusia tidak akan dapat menunjukkan eksistensi Tuhan dan hal yang demikian adalah mustahil (the existence of God is unlikely).[25]
Kecenderungan manusia untuk beragama –oleh Barat– dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia belaka. Freud memandang orang yang beragama ibarat mengulang masa kecilnya; agama hanyalah ilusi belaka.[26] Karl Marx memandangnya  sebagai orang yang putus harapan karena tidak mampu menghadapi kehidupan; hanya membuat orang mengerjakan sesuatu yang tidak berguna; agama hanyalah candu masyarakat.[27]
Namun berseberangan dengan pernyataan di atas, dalam the dictionary of philosophy dikatakan bahwa setidaknya ada dua fakta yang menunjukkan akan eksistensi Tuhan. Pertama, didasarkan pada fakta pengalaman (facts of experience) yaitu manusia mempunyai keinginan atau kebutuhan untuk kesempurnaan, ketergantungan, cinta dan keselamatan. Kedua, didasarkan pada sejarah religius (facts of religious history) yaitu tentang kesusilaan (morality) yang percaya akan keadilan final (belief in ultimate justice), naluri akan kebaikan yang absolut (instinct for an absolute good), suara hati (conscience), hal mendesak yang bersifat pasti atau mutlak (categorical imperative), kewajiban (sense of duty), dan kebutuhan objek yang menjadi pondasi bagi kesusilaan (need of an objective foundation of morality). Di samping tentang kesusilaan (morality), juga alasan kosmologi, psikis keagaamaan (physico-theological), ideologi dan juga ontologi.[28]
Dalam memahami sifat alami Tuhan sendiri, terdapat pendapat yang bervariasi yang ditandai oleh konsepsi tentang atribut Tuhan baik yang mengatakan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang bukan pribadi (a non-personal/pantheistic) dan Tuhan sebagai sesuatu yang pribadi (personal/theistic) yang diperoleh dari pengalaman yang diangkat ke suatu tingkat superlative maha tahu (omniscient) dan abadi (eternal). Walaupun kenyataannya, Tuhan mungkin dipahami sebagai kemutlakan yang relatif dalam nilai-nilai manusia sebagai makhluk yang dualitas dan pluralitas.[29]
Konsep Tuhan sendiri tidak dapat dilepaskan dari keyakinan (faith), percaya terhadap keajaiban-keajaiban (belief in miracles), dan peribadahan atau menggambarkan dan mendeskripsikan bentuk Tuhan, biografinya dan juga ciptaannya yang lebih bersifat teologi daripada secara metafisis (filsafat). Karena para filosof secara keseluruhan lebih menggunakan gagasan ketuhanan atau padanan ilmu bahasanya di dalam bahasa lain, di samping karena kepopulerannya ataupun karena pengaruh gereja. Walaupun demikian, menurut Schoolmen, filsafat dapat menunjukkan keberadaan Tuhan, meskipun inti dari argumentasinya berdasarkan analogi.[30]
Penutup
Dari pemaparan singkat di atas maka dapat diketahui bahwa beragam pemikiran di Barat mengenai ketuhanan disebabkan karena sisi historis dan sudut pandang yang mereka gunakan berbeda dalam melihat eksistensi Tuhan. Karena sudut pandang yang berbeda, maka tentunya kesimpulan yang dihasilkannya-pun menjadi berbeda. Namun yang jelas permasalahan ketuhanan merupakan permasalahan besar yang muncul sejak manusia mulai menggunakan nalar berfikirnya secara mendalam. Dikatakan permasalahan besar dikarenakan banyak dari kalangan filosof dan teolog yang memiliki perhatian dan perbedaan pandangan secara signifikan. Di samping itu pemikiran ketuhanan ini juga nantinya berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran yang lain.


[1] Makalah ini disampaikan pada kajian Dept. Keilmuan & Kerohanian 2010 ISID Gontor
[2] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religion (New York: Columbia University Press, 1958), hal. 39.
[3] Walter E Stuerman. The Human Prospect When God is Dead dalam Donald E Hartsock (ed), Contemporary Religious Issues (Los Angeles: University of California, Wadsworth Publishing, 1968), p: 186. Gilles Deleuze, Filsafat Nietzche  (Yogyakarta: Ikon, 2002), p: 214-215. Karena manusia yang ideal adalah manusia atas, maka pemikiran inilah yang mendorong Nietzsche pada keyakinan bahwa Tuhan (Allah) telah mati. Hanya manusia ataslah yang masih hidup. Dunia ini masih berarti karena “manusia atas”. Maka orang harus setia pada dunia ini, dan tidak perlu percaya akan adanya harapan-harapan yang mengatasi dunia. Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 375. Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 129.
[4] Harold A Titus, dkk., “Living Issues In Philosophy,” dalam H. M. Rasyidi, Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hal. 447
[5] Karen Amstrong, A History of God (New York : Alfred A Knoof, 1993), hal. 5
[6] Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi Muqaranat Al-Adyan: Ad-Diyanaat Al-Qadimah (Darul Fikri Al-Arabi: 1965), hal. 5-7.
[7] Jefry Bernard, Imam Abdul Fattah Imam (terj.), Al-Mu’taqadaat Ad-Diniyyah Liday Asy-Syu’ub (Kuwait: ‘Alamu Al-Ma’rifah, 1993), hal. 34
[8] Louis Masignon, Muhadharat Fi Tarikh Al-Ishthilahat Al-Falsafiyyah Al-‘Arabiyyah (Kairo: Al-Ma’had Al-‘Ilmi Al-Faransi Lil’Atsar Ay-Syarqiyyah, tanpa tahun), hal. 137.
[9] Muhammad As-Sayyid Al-Julainid, Qadiyyatul Uluhiyyah Baina Ad-Din Wal Falsafah (Kairo: Daru Qobail Mathba’ah Wan-Nasyr Wat-Tauzi’, 2001), hal. 256
[10] Alvin Plantinga & Michael Tooley, Knowledge Of God ( USA: Blackwell Publishing, 2008), p. 2
[11] Karl Marx, Friedrich Engels. 1957.  On Religion. Foreign languages publishing house. Moscow. Hal 24.
[12] Seyyed Hossein Nasr. 1981. Knowledge and The Sacred: The Gifford Lectures. Edinburgh University Press. Hal: 36
[13] S. E. Frost, JR., Ibid., p. 106
[14]  Disebut juga dengan prima filosofia, metaphysic dan ketuhanan. Al-falsafah al-ula merupakan istilah yang digunakan oleh Aristoteles dalam studi tentang ultimate existensces (al-maujudat al-azaliyyah) yang berbeda-beda. Lihat Ibrahim Madkur, al-Mu’jam al-Falsafi (Kairo: al-Hai’ah al-‘Amah Lisyuuni al-Mathabi’ al-Amiriyah, 1983), p. 139
[15] Vasilis Politis, Aristotle and the Metaphysics (London And New York: Routledge, 2004), p. 2
[16] Aristoteles, Methaphysics, Translated by Richard Hope (The University Of Michigan Press, 19694), 1003a21-22
[17] Vasilis Politis, Ibid., p.3
[18] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Mina Al-Falsafah Yunaniyyah Ila Al-Falsafah Al-Islamiyyah (Beirut: ‘Uwaidat Li An-Nayr Wa Ath-Thiba’ah, t.t), p. 187
[19] Hamid Fahmy Zarkasy, The Nature Of God In Aristotle’s Natural Theology (ISID Gontor: Jurnal Tsaqafah, Vol. 4, Nomor 1, 1428 H), hal. 39
[20] Thomas Aquines lahir sekitar tahun 1225 M di Naples. Dia adalah seorang empiris. Akan tetapi menurutnya pengetahuan manusia tidak hanya terbatas pada pengalaman indra. Dia percaya pada satu arti ide, karena jiwa merupakan bentuk dari tubuh, bahwa fungsi intelek manusia bergantung pada pengalaman indera. Sedangkan pandangannya dalam ketuhanan, dia beranggapan bahwa manusia dapat membuktikan eksistensi Tuhan. Untuk lebih jelasnya lihat dalam buku John K. Roth, Persoalan-Persoalan filsafat agama; Kajian Pemikiran 9 Tokoh Dalam Sejarah Filsafat Dan Teologi, terj. Ali Noer Zaman ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p. 120
[21] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, cet. Ke-4), p. 141-142. Setelah membuktikan eksistensi manusia, dia membuktikan eksistensi Tuhan dan eksistensi benda-benda materiil. Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), p. 126
[22] M. Hollis, The Light Of Reason, Rationalist Philosopher Of The 17th Century (Oxford: Oxford University, 1973), p. 142
[23] HB. Acton, Kant’s Moral Philosophy (London: MacMillan, 1970), p. 66
[24] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung: Remanja Rosdakarya, 2008, cet.ke-3)
[25] Lihat Michael Tooley, Does God Exist? dalam Alvin Plantinga & Michael Tooley, Knowledge Of God ( USA: Blackwell Publishing, 2008), hal. 70
[26]. Freud memandang sikap keagamaan sebagai refleksi mental yang sakit. Bandingkan dengan: Daniel L Pals. 1996. Seven Theories of Religion. Oxford University Press. New York. p. 66.
[27] Dom Aelred Graham. 1971. The End of Religion. Harcourt Brace Jovanovich. New york & Lodon. Hal: 17
[28] D. Runes, The Dictionary Of Philosophy (New York: Philosophical Library), p. 118
[29] D. Runes, Ibid., p. 118
[30] D. Runes, Ibid., p. 118

1 comment:

ahmadfaizaladha said...

syukron mas bro.. izin share ya..
jangang lupa follow back link ana
bismillahfaiz.blogspot.com