oleh: Alex Nanang Agus Sifa[1]
Pendahuluan
Diskursus hubungan antar agama selalu menarik dan menantang kekritisan kalangan akademisi, pemikir dan juga filosof. Tema ini seakan tidak pernah tuntas untuk dibahas. Beberapa kalangan diantara mereka berusaha mendamaikan hubungan antar agama. Berbagai macam perspektif, sudut pandang dan pendekatan telah digunakan sebagai jalan untuk mengatasi problem tersebut. Salah satu diantaranya adalah perspektif filsafat perennial dalam melihat agama baik dari hubungan antar agama maupun substansi dan bentuk agama-agama.
Diantara karya yang telah berusaha membahas agama dalam perspektif filsafat Perennial adalah buku karya Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis. Buku yang diberi judul “Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial” tersebut terdiri dari beberapa sub bab yang diantaranya adalah “substansi dan bentuk agama-agama”. Makalah sederhana ini lebih bersifat pendeskripsian dan pengembangan dari sub bab buku tersebut, oleh karena itu isi dalam makalah yang sederhana ini tentunya tidak jauh dari substansi pembahasan.
Agama; Antara Naluri Dan Konflik
Rudolf Otto seperti yang dikutip oleh Karen Armstrong menyebutkan bahwa dalam diri setiap orang terdapat perasaan keyakinan terhadap adanya kekuatan yang lebih besar dan tinggi.[2] Kekuatan ini melampaui apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Karena kekuatan semacam ini di luar batas kemanusiaan, maka kekuatan tersebut menjadi sesuatu yang diagungkan bahkan dijadikan sesembahan (Tuhan).[3]
Sejak pertama kali diciptakan, manusia sebenarnya sudah memiliki naluri dasar untuk percaya kepada Tuhan. Manusia memasrahkan dirinya untuk mengakui kekuatan lain, yang itu adalah naluri alamiahnya. Manusia mengakui adanya Tuhan karena berhutang kehidupan dan akan kembali kepada-Nya.[4] Rasa keberhutangan ini kemudian dibayar dengan beragama.
Akan tetapi dalam kenyataannya, agama justru menjadi salah satu motif yang menjadi penyebab peperangan. Pertumpahan darah terjadi dengan mengatasnamakan agama. Tidak sedikit nyawa melayang dengan dalih membela agama. Agama dijadikan dan diklaim sebagai alasan utama untuk melegitimasikan kekerasan serta ketidak adilan.
Dari situ kemudian muncul berbagai penghujatan terhadap agama. Agama dirasa tidak penting dan hanya menjadi sumber konflik. Oleh karena itulah dalam pandangan Barat, kecenderungan manusia untuk beragama dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna sama sekali. Karl Marx memandangnya sebagai orang yang putus harapan karena tidak mampu menghadapi kehidupan, agama membuat orang mengerjakan sesuatu yang tidak berguna dan agama hanyalah candu masyarakat.[5] Sedangkan dalam pandangan Freud, orang yang beragama ibarat mengulang masa kecilnya, agama hanyalah ilusi belaka.[6]
Di dalam beragama tentunya di situ terdapat unsur kepercayaan kepada Tuhan. Karena beragama sudah dipandang sia-sia maka percaya kepada Tuhan juga dipandang demikian. Akhirnya, pemikiran tentang Tuhan dihilangkan dan Tuhan dibunuh sebagaiamana ungkapan yang dinyatakan oleh Nietzche “God is death”.[7]
Namun pandangan-pandangan yang menyatakan akan ketidakpercayaan terhadap Tuhan ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak ada dan agama sekedar ilusi belaka, akan tetapi pandangan semacam ini hanya sebatas pandangan yang dihasilkan dan disimpulkan oleh beberapa kalangan yang melihat agama dari sisi eksoteris semata. Untuk itu beberapa kalangan Barat sendiri mencoba mencari jalan keluar hubungan atau titik temu agama dengan tetap mempercayai agama-agama yang ada yaitu dengan memandang agama sebagai bentuk dan substansi. Yang mana bentuk dan substansi agama ini setidaknya akan mengurangi konflik yang menjadikan agama sebagai legitimasi.
Bentuk Dan Substansi Agama-Agama
Keberadaan agama dalam perspektif filsafat perennial dapat dianalogikan sebagaimana ajaran Aristoteles dan Plato mengenai substansi dan bentuk. Secara umum, walaupun substansi bersifat primer sementara bentuk bersifat sekunder, akan tetapi tanpa bentuk (attribute) sebuah substansi tidak bisa dikenal. Begitu juga substansi agama dapat dikenal dan menjadi aktual apabila agama tampil dalam bentuk nyata.[8]
Substansi agama tersebut di satu sisi dapat bersifat transenden dalam artian substansi agama sulit untuk didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikatnya, dan di sisi lain substansi agama bersifat imanen yaitu hubungan antara predikat dan substansi tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini sebagaimana apa yang dikatakan oleh Schuon bahwa setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi.[9] Bentuk agama dapat dikatakan relatif akan tetapi di dalamnya terkandung muatan substansial yang mutlak. Karena agama sendiri merupakan gabungan antara substansi dan bentuk.
Semangat perennial sendiri menghendaki untuk mencari universalitas substansi agama melalui pendekatan apresiatif terhadap partikularitas bentuk agama-agama yang diwahyukan Tuhan dalam rentangan sejarah.[10] Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan keterlibatan emosional ketika berbicara soal agama.
Proses Individualisasi Keberagaman
Dalam pandangan filsafat perennial, perbedaan yang lahir hanya terdapat pada bentuk-bentuk keagamaan, sedangkan sebenarnya terdapat kesamaan substansial dalam setiap agama sehingga agama yang satu memperkuat agama yang lain. Hal tersebut dapat dilihat secara konkrit dalam agama Islam sendiri yaitu dalam ritual ibadah haji. Dalam ibadah haji, orang yang melaksanakan thawaf bukanlah berarti dia menyembah ka’bah. Karena jika demikian maka orang yang melaksanakan ibadah haji tersebut melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Dan inilah sebenarnya yang disebut kesan paradoksal dalam bahasa agama.[11]
Contoh lain dapat dilihat dari kisah sufi Ibrahim bin Adham yang mempunyai guru pertapa beragama Kristen. Keduanya tetap berpegang pada agama masing-masing tanpa harus berpindah (konversi) agama. Selain muslim, dalam konteks masyarakat Barat sendiri terdapat trend para teolog Kristen yang mengambil manfaat dari agama Budha. Para teolog Kristen lebih menghayati agama mereka setelah mereka mendalami agama Budha.
Kisah ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah mampu melewati dataran bentuk dan kemudian naik ke level substansi, maka jarak dan konflik menjadi hilang. Seperti segolongan orang yang memusatkan perhatiannya pada Satu Titik Kebenaran. Dan inilah yang kemudian disebut keberagaman yang bersifat elektis atau dalam bahasa lain disebut proses individualisasi keberagaman.
Abrahamic Religions Dalam Pandangan Filsafat Perennial
Secara eksoterik atau bentuknya, setiap agama memiliki perbedaan. Oleh karena itulah setiap agama selalu otentik untuk zamannya sebagaimana agama yang pernah ada yang sering disebut abrahamic religions (Yahudi, Kristen dan Islam). Ketiga agama tersebut tidak bersifat saling menghapus atau menggantikan akan tetapi lebih bersifat melengkapi.[12] Walaupun agama yang datangnya terakhir bersifat pelengkap terhadap yang datang lebih dulu akan tetapi perbedaan hanya terletak pada sisi bentuk atau eksoterisnya saja. Sedangkan pada level substansi atau esoterisnya memiliki kesamaan.
Agama Yahudi yang merupakan bentuk monoteisme pada zaman nabi Musa mengambil alih monoteisme dan menjadikannya hanya milik bangsa Israel. Proses nasionalisme Tuhan yang mestinya universal ini disebut henotisme. Sedangkan Tuhan bagi orang Yahudi diyakini sebagai Tuhan yang imanen yaitu Tuhan yang menyejarah dan selalu hadir menyelamatkan mereka. Karena begitu kuatnya keyakinan orang Yahudi terhadap kasih dan keberpihakan Tuhan pada mereka sehingga mereka menyebut dirinya sebagai putra-putra Allah.[13]
Dari situlah kemudian terjadi proses kristalisasi pada monoteisme dalam agama Yahudi yang kemudian memperoleh ciri historitas. Dan ciri historitas ini akhirnya menjadi bentuk paham mesianiseme. Mesianisme inilah yang kemudian dijadikan oleh kaum Kristen sebagai pembenaran bagi munculnya Kristus. Dari sini maka dapat terlihat bahwa agama Kristen menjadi peneguh terhadap mesianisme Yahudi. Kemudian peneguhan inilah yang pada akhirnya mengakibatkan adanya persamaan antara Mesias dan Tuhan yang selanjutnya menjadi dogma agama Kristen.
Kehadiran Kristus yang secara historis dimaksudkan sebagai kritik sekaligus peneguhan terhadap paham mesianisme Yahudi yang telah menyempit. Maka akhirnya universalitas agama Kristen pun telah tereduksi menjadi agama partikular sebagaimana agama Yahudi pada dimensi eksoterisnya. Disusul kemudian muncullah agama Islam yang merangkum dua agama Yahudi dan Kristen dan menyelaraskan pertentangan keduanya dalam satu sintetis.
Dalam Yahudi, Islam memperteguh ajaran kasih dari Kristen dan terhadap Kristen, Islam memperteguh aspek legal (eksoterisme) Yahudi. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Islam merupakan tahap ketiga dari monoteisme yang dikenalkan Yahudi dan Kristen.[14] Dari sinilah Islam datang sebagai peneguh, pengkritik dan sekaligus penyempurna terhadap dua agama sebelumnya. Lebih jelasnya mungkin dapat digambarkan sebagai berikut:
ABSOLUT |
(Primer/transenden) |
RELATIF |
(Sekunder/imanen) |
Dari gambaran di atas maka akan terlihat jelas bahwa ketiga agama Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam) menurut perspektif filsafat perennial memiliki kesamaan dalam level esoterik atau substansi yang bersifat transenden dan absolut. Sedangkan berbeda dalam level eksoterik atau bentuk yang bersifat relatif atau imanen.
Faktor utama yang menjadikan agama seolah menjadi menyeramkan dan pro dengan kekerasan adalah disebabkan fenomenologi agama yang muncul ke permukaan biasanya melupakan makna hakikinya. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa kekerasan dan pertikaian antar agama muncul akibat para penganut agama hanya melihat dari bentuk atau sisi eksoterik agama. Mereka tidak melihat dari substansi atau sisi esoterik agama yang pada hakikatnya memiliki kesamaan. Akan tetapi konflik, perbedaan, dan dinamika yang muncul dari eksoterisme agama ini merupakan suatu keniscayaan meskipun pada dasarnya semua itu secara ontologis dan epistemologis hanya bersifat relatif belaka.[15] Untuk itu filsafat perennial menawarkan agar para penganut agama seharusnya melihat atau memandang agama dari substansi atau sisi esoterisnya agar nantinya tidak timbul perpecahan antar penganut agama.
Penutup
Dari pemaparan di atas maka dapat dismpulkan bahawa filsafat perennial memiliki sikap awal dalam melakukan studi perbandingan agama. Sikap yang dimaksud adalah pengakuan bahwa setiap agama mengajarkan prinsip-prinsip keadilan. Sikap ini didasarkan pada baik sangka dalam memberi penilaian terhadap agama-agama yang ada. Dan inilah pandangan yang universal dan substansif. Dengan demikian maka dalam perspektif filsafat perennial tidak ada yang namanya anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang paling benar (truth claim).
Jadi, pada hakikatnya –dalam perspektif filsafat perennial- semua agama memiliki substansi yang sama. Semua agama memiliki substansi yang mutlak tapi dengan bentuk relatif. Letak perbedaan dalam masing-masing agama hanya terletak pada bentuknya saja yang bersifat relatif. Dari sini maka kemudian agama menjadi sesuatu yang absolut tetapi relatif (relativerly-absolute). Dan pluralitas agama bukan hanya sebuah keniscayaan tapi juga merupakan kebutuhan.
[1] Makalah ini dipresentasikan pada acara Forum Kajian Fakultas Ushuluddin bulan Juni 2010 ISID Gontor Kampus Siman
[3] Tradisi beragama (ketuhanan), sebenarnya sudah dimulai pertama kali oleh orang Mesir. Menurut Muhammad Abu Zahrah, umat yang pertama kali percaya akan adanya Tuhan adalah Mesir. Ketika itu orang-orang Mesir memiliki Tuhan yang tidak tetap. Tuhan mereka berpindah-pindah dan berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Di setiap kota terdapat Tuhan, oleh karena itu Tuhan yang mereka sembah disebut Tuhan yang berada pada suatu tempat (Alihah Mapliyyah). Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi Muqaranat Al-Adyan: Ad-Diyanaat Al-Qadimah (Darul Fikri Al-Arabi: 1965), p. 5-7. Dan jika dilihat dari sisi historis, tradisi ketuhanan orang Mesir ini sudah berlangsung jauh sebelum tahun 4000 SM. Jefry Bernard, Imam Abdul Fattah Imam (terj.), Al-Mu’taqadaat Ad-Diniyyah Liday Asy-Syu’ub (Kuwait: ‘Alamu Al-Ma’rifah, 1993), p. 34
[4] Seyyed Hossein Nasr, The Need for The Sacred Science (New York: State University of New York, 1993), p. 95. Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religion (USA: The Theosophical Publishing House, 1987), p. 150-151. Bandingkan dengan: Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 52-54. Lihat Juga Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysic of Islam: an Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 114-116.
[5] Dom Aelred Graham, The End of Religion (New york & Lodon: Harcourt Brace Jovanovich, 1971), p. 17
[6] Freud memandang sikap keagamaan sebagai refleksi mental yang sakit. Daniel L Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), p. 66
[7] Pandangan Nietzche hampir sama dengan Freud bahwa mempercayai Tuhan dan dosa itu tidak lebih penting daripada permainan anak-anak, atau ibarat gambaran anak yang seperti orang tua. Bagi Nietzche, p tersebut adalah orang tua yang selalu kekanak-anakan, dan selamanya menjadi anak. Friedrich Nietzche.. Beyond Good and Evil, (New York: Dover Publications, 1996), p: 40. Walter E Stuerman. The Human Prospect When God is Dead dalam Donald E Hartsock (ed), Contemporary Religious Issues (Los Angeles: Wadsworth Publishing, 1968), p. 186. Karena manusia yang ideal adalah manusia atas, maka pemikiran inilah yang mendorong Nietzsche pada keyakinan bahwa Tuhan (Allah) telah mati. Hanya manusia ataslah yang masih hidup. Dunia ini masih berarti karena “manusia atas”. Maka orang harus setia pada dunia ini, dan tidak perlu percaya akan adanya harapan-harapan yang mengatasi dunia. Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), p. 375. Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), p. 129.
[8] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), p. 109
[9] Frithjof Schuon, Islam And The Perennial Philosophy, J. Peter Hobson (trans) (World Of Islam Festival Publishing Company Ltd., p. 15 dalam bukunya Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Ibid., p. 110
No comments:
Post a Comment