Oleh: Alex Nanang Agus Sifa
Pendahuluan
Pembicaraan mengenai Tuhan merupakan diskusi yang usianya seumur keberadaan manusia. Diduga kuat pada diri manusia memang memiliki bakat ber-Tuhan (nominous).[1] Dengan adanya “nominous” yang mengindikasikan manusia tetap butuh terhadap Tuhan, maka mengetahui “Tuhan”[2] dengan benar menjadi sebuah keniscayaan.Di dunia Barat sendiri yang mayoritas Kristen, setelah masa pencerahan yang ditandai dengan bangkitnya rasionalisme dan empirisme, bermunculan para pendobrak “Tuhan” yang puncaknya sampai pada pengumuman kematian “Tuhan” oleh Friedrich Nietzsche.[3]
Terlepas dari anggapan Tuhan telah mati, yang jelas diskusi tentang Tuhan itu sendiri menjadi menarik dan penting. Letak penting dan menariknya bukan saja kerena sosok-Nya yang abstrak,[4] tetapi juga karena pemahaman tentang konsep Tuhan bagi peradaban adalah lahirnya berbagai macam implikasi sosial yang pada akhirnya konsepsi pemahaman tersebut, sedikit banyaknya ikut andil dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan.
Banyak diantara kalangan baik cendekiawan maupun penulis buku filsafat Islam mengatakan bahwa Al-Kindi adalah filosof muslim pertama. Hal itu mungkin dikarenakan dialah muslim yang pertama kali menerjemahkan pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab dan mensinkronisasikan antara agama dan filsafat. Jika memang demikian apakah dapat dikatakan jika pemikiran Al-Kindi-khususnya pemikirannya tentang Tuhan- banyak dipengaruhi oleh pemikiran Yunani? Oleh karenanya perlu dikaji ulang agar nantinya duduk persoalannya menjadi jelas. Makalah yang sederhana ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut di atas dan membahas pemikiran Al-Kindi tentang Tuhan.
Sekilas Riwayat Hidup Al-Kindi
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin al-Shabbah bin Imran bin Mubin al-Asy'ats bin Qais al-Kindi.[5] Dia dilahirkan di Kufah, akan tetapi tahun kelahirannya tidak bisa dipastikan. diperkirakan dia lahir sekitar 180 dan 185 H (796/801 M) dari keluarga berada dan terpelajar. Kakek buyutnya yang bernama al-Asy'ats bin Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa'ad bin Abi Waqash dalam sebuah peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya, Ishaq bin al-Shabbah adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al-Rasyid (786-809 M).[6]
Al-Kindi memulai perjalanan intelektualnya dari tanah kelahirannya sendiri yaitu Kufah, kemudian melanjutkan pendidikannya ke kota Bashrah, yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan tempat utama gerakan pemikiran dan filsafat. Di Bashrah ia mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, matematika dan filsafat. Tetapi tampaknya dia begitu tertarik kepada filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga setelah ia pindah ke Baghdad, dia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, astronomi, ilmu mantiq, seni musik hingga filsafat. Di samping menerjemahkan buku-buku yang berasal dari Yunani, dia juga memberi komentar terhadap pemikiran mereka.[7]
Corak dan bentuk filsafat Al-Kindi tidak banyak diketahui karena buku-bukunya tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman belakangan, para peminat filsafat menemukan kurang lebih 20 risalah al-Kindi dalam tulisan tangan. Menurut Ibnu Nadim dan Al-Qafthi menyebutkan 238 risalah (karangan pendek), sedangkan sha'id Al-Andalusi menyebutkan 50 buah.[8] Mereka yang berminat besar menelaah filsafat Islam, baik kaum orientalis barat maupun orang-orang Arab sendiri, telah menerbitkan risalah-risalah tersebut. Dengan demikian, orang mudah menemukan kejelasan mengenai posisi dan paham al-Kindi dalam filsafatnya.
Filsafat Al-Kindi
Sebelum Al-Kindi membahas tentang Tuhan, dia mengawali dengan pandangannya tentang urgensinya filsafat. Filsafat menurut Al-Kindi adalah ilmu tentang kebenaran (hakikat) segala sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniah), ilmu keutamaan (fadhilah),dan ilmu tentang semua cara meraih maslahat dan menghindar dari madharat. Tujuan seorang filosofis bersifat teorits, yaitu mengetahui kebenaran praktis dan mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran maka akan semakin dekat pula pada kesempurnaan.[9]
Menurutnya, filsafat merupakan ilmu yang amat mulia di atas ilmu-ilmu yang lain. Dan kemulian yang tertinggi dari berbagai macam cabang filsafat adalah filsafat pertama, yaitu ilmu kebenaran pertama yang menjadi penyebab setiap kebenaran (‘ilmu al-haq al-awwal alladzi huwa ‘illatu kulli haq).[10]
Dalam bukunya Ahmad Hanafi dikemukakan bahwa definisi filsafat yang dikemukakan oleh Al-Kindi terdapat unsur-unsur pemikiran Plato dan Aristoteles.[11] Dalam hal ini Al-Kindi berpandangan bahwa dalam menilai ukuran kebenaran dan kemuliaannya, seseorang dapat mengambil sumber darimana saja, dengan catatan tidak bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan oleh agama. Dia mengambil i’tibar tentang hikmah ‘aliyah yang merupakan ungkapan sangat terkenal di kalangan arab islam yakni “hikmah adalah perbendaharaan mu’min, maka ambillah dimanapun engkau mendapatkannya" dan ungkapan yang menyatakan “janganlah engkau mengetahui kebenaran dengan melihat pemiliknya, tapi ketahuilah kebenaran maka engkau akan mengetahui pemiliknya”.[12]
Dalam definisinya tentang filsafat dia menyimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu mengenai sesuatu sekaligus dengan substansinya (ilmu al-asyyai bihaqaaiqiha). Ilmu tersebut mencakup pengetahuan tentang ketuhanan (rububiyyah), keesaan (wahdaniyyah), keutamaan (fadhilah) dan pengetahuan yang memiliki aspek manfaat atau pengetahuan yang telah dibawa oleh para nabi. Untuk itu dalam mencarinya adalah sebuah kewajiban dan barangsiapa yang beranggapan bahwa itu tidak wajib, maka dia harus menunjukkan alasan (dalil).[13]
Metafisika Al-Kindi
Persoalan metafisika[14] pada hakikatnya merupakan persoalan filsafat yang pembicaraannya sudah dimulai sejak awal kemunculannya, yaitu pada masa filosof pertama Thales.[15] Para ahli sejarah filsafat menyimpulkan bahwa pembahasan tentang metafisika (ma ba’da ath-thabi’ah) disebut juga dengan pembahasan tentang wujud (mabhats al-wujud) atau disebut filsafat wujudiyyah (existentialism), hal ini dikarenakan metafisika merupakan asas yang menjadi sumber wujud dan tempat kembali yang abadi. Aristoteles menyebutnya sebagai al-falsafah al-ula (ma ba’da ath-thabi’ah)[16] karena pembahasannya mencakup tentang ada dalam dirinya (being as being).[17]Terlepas dari pandangan para filosof Yunani, Al-Kindi memiliki pandangannya sendiri mengenai metafisika (ma ba’da ath-thabi’ah). Dalam pandangannya, dia memulainya dengan mendifinisakan makna alam/fisika (ath-thabi’ah). Menurutnya, alam/fisika merupakan ilmu tentang segala sesuatu yang bergerak (‘ilmu al-asyyai al-mutaharrikah). Dengan demikian maka definisi metafisika adalah sebaliknya yakni ilmu tentang sesuatu yang tidak bergerak (‘ilmu ma la yataharrak).[18]
Walaupun Al-Kindi memulai pembahasan metafisika dengan terlebih dahulu mendefinisikan fisika, akan tetapi pandangannya tentang metafisika tersebut sangat berbeda halnya dengan para filosof Yunani khususnya Aristoteles. Karena Aristoteles berangkat dan memulai pandangan metafisikanya dari fisika[19] dan keyakinan bahwa bumi bersifat kekal (azali), sedangkan Al-Kindi berpandangan dan berkeyakinan bahwa bumi bersifat baru (huduts). Maka dapat disimpulkan, jika pendekatan yang digunakan berbeda, maka sudah dapat dipastikan bahwa hasilnya-pun akan berbeda.
Pembahasan metafisika telah dibicarakan oleh Al-Kindi dalam beberapa risalahnya. Diantara risalah Al-Kindi yang concern dalam hal ini adalah yang berjudul tentang keesaan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam (wahdaniyyatullah wa tanahi jarami al-’alam). Ada tiga aspek yang menjadi pembahasannya, yaitu tentang hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat Tuhan.
Hakikat Tuhan
Menurut Al-Kindi, Tuhan adalah kebenaran pertama (Al-Haq Al-Awwal) dan yang benar tunggal (Al-Haq Al-Wahid).[20] Kebenaran tunggal yang menciptakan (Al-Mubdi’) segala macam ciptaan. Dan segala sesuatu tidak lepas dari peranan dan kekuatan-Nya.[21]
Al-Wahid Al-Haq menurut Al-Kindi bukanlah termasuk bagian dari alam (ma’qulat), bukan unsur, bukan genus (al-jins), bukan spesies (an-nau’), bukan differentia (al-fashl)), bukan aksidensi (‘ardh), bukan gerakan (al-harakah), bukan akal (al-‘aql), bukan particular (al-juz’u) dan bukan satu dengan tambahan yang lain tapi Tuhan itu satu adanya, tidak menerima banyak (jamak), dan tidak tersusun. Dan Al-Wahid Al-Haq berarti Esa dalam Dzat dan tidak berjumlah lebih dari satu dan tidak terbagi ke dalam spesies.[22]
Wujud Tuhan
Ada tiga alasan menurut Al-Kindi yang menunjukkan akan eksistensi Tuhan (wujudullah), yaitu pertama, barunya alam (dalilul huduts), kedua, adanya sesuatu yang esa (dalilul wahdah) dan ketiga, adanya keteraturan dan pengaturan (dalilu an-nidzam wa at-tadbir).[23] Dengan ketiga alasan ini, Al-Kindi membuktikan bahwa alam bersifat baru, terbatas, ada yang lebih awal darinya dan ada permualaannya. Untuk itu alam ini tentunya ada yang menciptakan (al-Muhdits).[24]
Tentang barunya alam, Al-Kindi beralasan bahwa tidaklah mungkin setiap yang memiliki bentuk (ajsam) bersifat kekal (azali). Karena jika terdapat bentuk (jisim) maka terikat oleh waktu (zaman) dan gerak (harakah). Dan setiap waktu dan gerak adalah berubah. Dan setiap yang berubah maka bersifat terbatas. Oleh karena itu, alam yang memiliki bentuk ini bersifat baru (huduts) dan terbatas.[25]
Pencipta alam ini tidak terbatas dan disebut satu yang benar (al-wahid al-haq) yaitu Allah. Dia-lah menciptakan alam dari ketiadaan (al-ijad min al-‘adam/creation ex nihilo) dan tanpa melalui waktu.[26] Dia tidak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tidak bergerak, tapi dalam realitanya Dialah yang menyebabkan gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya.[27]
Alasan kedua tentang wujud Tuhan menurut Al-Kindi adalah keesaan Tuhan. Alam yang terbatas ini tidak mungkin ada dengan sendirinya, akan tetapi pasti ada sebab. Sebab ini bukanlah alam itu sendiri, karena jika alam itu sendiri yang menjadi sebab, maka sebab itu tidak ada habis-habisnya. Oleh karena itu yang menjadi sebab haruslah berada di luar alam dan harus lebih dahulu adanya. Dan sebab (al-‘illat) tentunya harus lebih dulu dari pada akibat (al-ma’lul). Dan sebab ini bersifat tunggal (esa), karena jika terdapat dua sebab, maka sebab yang satu dengan yang lain sama-sama tidak kuasa. Oleh karena itu sebab harus bersifat tunggal dan menjadi penyebab pertama (‘illah ula).[28]
Kemudian alasan ketiga yang menunjukkan adanya Tuhan (wujudullah) adalah dengan adanya keteraturan alam. Menurutnya, alam yang teratur ini tidak mungkin ada dengan sendirinya, tetapi ada yang mengatur. Dan pengatur alam ini tidak mungkin lebih dari satu. Karena jika lebih dari satu maka akan terdapat dua keinginan. Dan jika kedua keinginan tersebut berlainan maka alam ini akan hancur. Oleh karena itu alam yang teratur ini menunjukkan ada yang mengaturnya dan pengaturnya harus esa.[29]
Sifat Tuhan
Diantara sifat Tuhan yang menjadi pembahasan Al-Kindi adalah sifat Tuhan yang Esa. Sifat keesaan Tuhan merupakan sifat yang paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu Dzat-Nya dan satu dalam hitungan. Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidak mempunyai arti aniyah atau mahiyah. Tidak aniyah karena Tuhan tidak dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Dia-lah pencipta alam. Dia tidak tersusun dari materi atau bentuk (al-huyuli wash-shurah). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan bukan genus atau spesies.[30]
Tuhan bersifat kekal (azali), yaitu Dzat Tuhan tidak dapat dikatakan tidak pernah ada. Tuhan akan selalu ada dan wujud-Nya tidak bergantung pada selain-Nya dan disebut kebenaran tunggal pertama (al-wahid al-haq al-awwal).[31] Tidak ada yang menjadikan-Nya, justru segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Dzat Tuhan tidak bergerak, karena pergerakan berarti ada pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna.
Kesimpulan
Tuhan menurut Al-Kindi adalah Pencipta (Al-Mubdi’) alam ini, tidak terbatas dan disebut satu yang benar (al-wahid al-haq) yaitu Allah. Dia-lah yang menciptakan alam dari ketiadaan (al-ijad min al-‘adam/creation ex nihilo). Karena alam diciptakan, maka alam memiliki sifat terbatas dan bersifat baru (huduts). Manusia yang merupakan bagian dari alam juga terbatas. Oleh karenanya Tuhan menurut Al-Kindi tidak dapat dilihat oleh pandangan mata yang terbatas dan Tuhan menurutnya tidak bergerak, tapi dalam realitanya Dialah yang menyebabkan gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya.
Pemikiran Al-Kindi tentang Tuhan tersebut memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan pemikiran para filosof Yunani khususnya Aristoteles. Dikatakan signifikan dikarenakan konsep awal yang dibangun oleh Al-Kindi dan filosof Yunani khususnya Aristoteles saling bertentangan. Jika Aristoteles memulai pandangan metafisikanya dengan keyakinan alam bersifat kekal (azali), maka Al-Kindi memulai pandangan metafisikanya dengan keyakinan bahwa alam bersifat baru (huduts). Dengan bukti adanya pertentangan ini, maka anggapan yang menyatakan bahwa pemikiran Al-Kindi terpengaruh oleh pemikiran filosof Yunani terbantahkan.
DAFTAR ISI
Al-Julainid, Muhammad As-Sayyid, Qadiyyatul Uluhiyyah Baina Ad-Din Wal Falsafah (Kairo: Daru Qobail Mathba’ah Wan-Nasyr Wat-Tauzi’, 2001)
Al-Kindi, Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq, Rasailul Kindi Al-Falsafiyyah (Kairo: Darul Fikri Al-Arabi, 1978, cet-2)
Amstrong, Karen, A History of God (New York : Alfred A Knoof, 1993)
Ath-Thawil, Taufiq, Usus Al-Falsafah (Kairo: Mathba’ah Lajnatu At-Ta’lif Wa-Attarjamah Wa-Annasyr, 1958)
Badawi, Abdurrahman, Aristo ‘Inda Arab; Dirasah wa Nusus Ghoiru Mansyurah (Kuwait: Wakalatul Mabtsu’at, 1978, cet.2)
Fakhri, Majid, Aristoteles Al-Mu’allim Al-Awwal (Beirut: Al-Mathba’ah Al-Katsulikiyyah, 1958)
Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
Hakim, Atang Abdul, Drs. MA dan Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet. Ke-6)
Kulpe, Oswald, Al-Madkhol Ila Al-Falsafah, terj. Abu Al-‘Ala ‘Afifi (Kairo: Mathba’ah Lajnatu At-Ta’lif Wa-Attarjamah Wa-Annasyr, 1955)
Leahi, Lois, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 1993)
Marhaban, Muhammad ‘Abdurrahman, Al-Kindi; Falsafatuhu Muntakhobaat ( Beirut: Mansyuraat ‘Uwaidaat, 1985)
Mudhofir, Ali, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Mustofa, Drs. H. A., Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Nasution, Harun, Prof. Dr., Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Nasution, Hasyimsyah, Dr. MA, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, cet. Ke-4), hal.19-20
Plantinga, Alvin dan Michael Tooley, Knowledge Of God ( USA: Blackwell Publishing, 2008)
Sifa, Anton, Al-Kindi; Falsafatuhu; Makanatuhu ‘Inda Muarrikhiil Falsafah Al-Arabiyyah ( Beirut: Darul Jil, 1985)
Solomon, Robert C. & Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu daril A Short History Of Philosophy (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003)
Titus, Harold A dkk., “Living Issues In Philosophy,” dalam H. M. Rasyidi, Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta : Bulan Bintang, 1984)
Zarkasy, Hamid Fahmy, The Nature Of God In Aristotle’s Natural Theology (ISID Gontor: Jurnal Tsaqafah, Vol. 4, Nomor 1, 1428 H)
[1]Rudolf Otto, seperti yang dikutip oleh Karen Armstrong, menyebutkan bahwa dalam diri setiap orang, terdapat perasaan keyakinan terhadap adanya kekuatan yang lebih besar dan tinggi, Karen Amstrong, A History of God (New York : Alfred A Knoof, 1993), hal. 5.
[2] Tuhan adalah sesuatu yang disembah, tempat cinta, tempat kembali dan kemuliaan. Tuhan adalah yang mendidik hamba-Nya, menganugerahkan apa yang telah diciptakan-Nya kepadanya, dan memberi petunjuk, dalam segala aspek baik itu yang bersifat ritual ibadah maupun yang bukan. Lihat dalam bukunya Muhammad As-Sayyid Al-Julaindi, Qadiyyatul Uluhiyyah Baina Ad-Din Wal Falsafah (Kairo: Daru Qobail Mathba’ah Wan-Nasyr Wat-Tauzi’, 2001), hal. 256
[3] Karena manusia yang ideal adalah manusia atas, maka pemikiran inilah yang mendorong Nietzsche pada keyakinan bahwa Tuhan (Allah) telah mati. Hanya manusia ataslah yang masih hidup. Dunia ini masih berarti karena “manusia atas”. Maka orang harus setia pada dunia ini, dan tidak perlu percaya akan adanya harapan-harapan yang mengatasi dunia. Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 375. Lihat juga Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 129.
[4] Dikatakan juga bahwa manusia tidak akan dapat menunjukkan eksistensi Tuhan, karena hal yang demikian adalah mustahil (the existence of God is unlikely) Lihat Michael Tooley, Does God Exist? dalam Alvin Plantinga & Michael Tooley, Knowledge Of God ( USA: Blackwell Publishing, 2008), hal. 70
[5] Abdul Mu’thi Muhammad Buyumi, Al-Falsafah Al-Islamiyyah (tanpa tempat dan penerbit, 1999), hal. 141
[6] Anton Sifa, Al-Kindi; Falsafatuhu; Makanatuhu ‘Inda Muarrikhiil Falsafah Al-Arabiyyah( Beirut: Darul Jil, 1985), hal. 24-25. Lihat juga dalam bukunya A. Mustofa, Filsafat Islam(Bandung: Pustaka Setia,1999), hal. 99-100
[7] A. Mustofa, Ibid, hal. 100
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet. Ke-6), hal. 73
[9] Drs. Atang Abdul Hakim, MA dan Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; Dari Metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 422
[10]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Rasailul Kindi Al-Falsafiyyah ( Kairo: Darul Fikri Al-Arabi, 1978, cet-2), hal. 5.
[11] Ahmad Hanafi, MA, Ibid, hal. 74
[12] Dalam bahasa arabnya "الحكمة ضالة المؤمن، خذ الحكمة ولايضرك من أي إناء خرجت" dan "لاتعرف الحق بالرجال، إعرف الحق تعرف أهله" Lihat dalam Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Op.Cit, hal. 8
[13]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Ibid, hal. 9
[14] Taufiq Ath-Thawil, Usus Al-Falsafah (Kairo: Mathba’ah Lajnatu At-Ta’lif Wa-Attarjamah Wa-Annasyr, 1958), hal. 165
[15] Thales memulai pembahasannya dari teori fisika tentang hakikat ada. Menurutnya, asas dari segala sesuatu yang ada adalah air, lihat dalam bukunya Oswald Kulpe, Al-Madkhol Ila Al-Falsafah, terj. Abu Al-‘Ala ‘Afifi (Kairo: Mathba’ah Lajnatu At-Ta’lif Wa-Attarjamah Wa-Annasyr, 1955), hal. 156
[16] Menurut Andronicus sebagai kepala madrasah paripatetik yang ke-11, Aristoteles merupakan orang yang pertama kali memunculkan istilah metafisika (ma ba’da ath-thabi’ah) dengan sebutan al-falsafah al-ula dengan alasan agar dapat dibedakan dengan al-falsafah ats-tsaniah yakni ilmu alam/fisika (al-‘ilmu ath-thabi’i) yang muncul terlebih dulu, dia juga menyebutnya denga hikmah karena membahas tentang sebab pertama (first cause/al-‘illah al-ula) dan dia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang Tuhan (al-ilmu al-Ilahi) karena sebagian besar pembahasannya tentang Tuhan (Allah) sebagai wujud pertama (al-maujud al-awwal) dan sebab pertama. Taufiq Ath-Thawil, Op.Cit, hal. 167
[17] Taufiq Ath-Thawil, Ibid, hal. 165
[18]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Op.Cit, hal. 12
[19] Hamid Fahmy Zarkasy, The Nature Of God In Aristotle’s Natural Theology (ISID Gontor: Jurnal Tsaqafah, Vol. 4, Nomor 1, 1428 H), hal. 39
[20] Prof. Dr. Harun Nasution, Filsafaat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal.16. Lihat juga dalam bukunya Dr. Hasyimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, cet. Ke-4), hal.19-20. Lihat juga Drs. H. A. Mustofa,Op.Cit, hal. 109
[21]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Op.Cit, hal. 107
[22]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Ibid, hal. 104-105
[23]Muhammad ‘Abdurrahman Marhaban, Al-Kindi; Falsafatuhu Muntakhobaat(Beirut: Mansyuraat ‘Uwaidaat, 1985), hal. 91.
[24]Muhammad ‘Abdurrahman Marhaban, Ibid, hal. 92. Berbeda halnya dengan filosof Yunani (Aristoteles) yang menyatakan bahwa alam ini bersifat abadi (azali), lihat dalam bukunya Muhammad Ghilab, Musykilatul Uluhiyyah (Mesir: Daru Ihyai Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, 1951), hal. 35. Aristioteles membentuk Tuhan yang diyakininya sebagai penggerak pertama yang tidak digerakkan (unmoved mover), lihat dalam bukunya Majid Fakhri, Aristoteles Al-Mu’allim Al-Awwal (Beirut: Al-Mathba’ah Al-Katsulikiyyah, 1958), hal. 174
[25]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Op.Cit, hal. 13
[26] Anton Sifa, Al-Kindi; Falsafatuhu; Makanatuhu ‘Inda Muarrikhiil Falsafah Al-Arabiyyah(Beirut: Darul Jil, 1985), hal. 34
[27] M.M Syarif, A History Of Muslim Philosophy (Lahore: Saddar-Karachi, 1961, vol.I), hal. 428
[28]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Op.Cit, hal. 20
[29]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Ibid, hal. 18
[30]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi, Ibid, hal. 104
[31]Abi Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Al-Kindi,Ibid, hal. 106
No comments:
Post a Comment