Istri yang shalehah adalah yang mampu
menghadirkan kebahagiaan di depanmata suaminya, walau hanya sekadar dengan
pandangan mata kepadanya. Seorangistri diharapkan bisa menggali apa saja yang
bisa menyempurnakanpenampilannya, memperindah keadaannya di depan suami
tercinta. Dengandemikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya.
Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memilikiistri
yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ”Dunia adalahperhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.” (HRMuslim dan Ibnu
Majah).Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami
biladilihat. Rasulullah bersabda, ”Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudahtakwa kepada
Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagidirinya, selain istri
yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakanbila dilihat, ridha bila
diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diridan suaminya, ketika suaminya
pergi.” (HR Ibnu Majah).Kedua, amanah. Rasulullah bersabda, ”Ada tiga macam
keberuntungan (bagiseorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang
shalehah, kalau kamulihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah
serta menjagakehormatan dirinya dan hartamu …” (HR Hakim).Ketiga, istri
shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenanganberpikir dan berperasaan
bagi suaminya. Allah SWT berfirman, ”Di antaratanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia
menciptakan pasangan untuk diri kamu darijenis kamu sendiri, agar kamu dapat
memperoleh ketenangan bersamanya.Sungguh di dalam hati yang demikian itu
merupakan tanda-tanda (kekuasaan)Allah bagi kaum yang berpikir.”(QS Ar Rum
[30]: 21).
Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisamembantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberipertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwakepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.” (HR Thabrani dan Hakim).Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita,para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi ‘yang terbaik’, sementarakita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imamideal bagi keluarga kita masing-masing.
Dengan menyebut nama ALLAH yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecualiorang – orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehatmenasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapikesabaran. ( Al Qur’an, Surah Al ‘Ashr )
“Pergunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu; pergunakan masa luangmusebelum datang masa sibukmu; pergunakan waktu sehatmu sebelum datang waktusakitmu; pergunakanlah waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu;pergunakan hidupmu sebelum datang matimu.” ( Rosulullah Muhammad SAW )
Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisamembantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberipertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwakepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.” (HR Thabrani dan Hakim).Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita,para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi ‘yang terbaik’, sementarakita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imamideal bagi keluarga kita masing-masing.
Dengan menyebut nama ALLAH yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecualiorang – orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehatmenasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapikesabaran. ( Al Qur’an, Surah Al ‘Ashr )
“Pergunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu; pergunakan masa luangmusebelum datang masa sibukmu; pergunakan waktu sehatmu sebelum datang waktusakitmu; pergunakanlah waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu;pergunakan hidupmu sebelum datang matimu.” ( Rosulullah Muhammad SAW )
Pentingnya Bermuhasabah
Muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikkan dengan menilai diri sendiri. Dalam melakukan muhasabah, seorang Muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik (beribadah) ataukah malah lebih banyak berbuat jahat (bermaksiat) dalam kehidupan sehari-hari. Dia mesti objektif melakukan penilaian, dengan menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama untuk melakukan penilaian, bukan berdasar keinginan hawa nafsunya.
Idealnya seorang muslim melakukan muhasabah tiap hari. Menjelang tidur, kita mengevaluasi diri kita, apakah kita hari ini sudah melakukan banyak kebajikan atau kejahatan? Seberapa banyak kejahatan yang kita lakukan? Seberapa banyak kebaikan yang kita perbuat? Dan bukan sebagaimana anggapan orang pada saat ini yang mengatakan bahwa waktu yang paling tepat untuk mengintrospeksi perbuatan yang telah kita kerjakan hanya di akhir tahun atau pada saat adanya bencana. Taruhlah jika anggapan itu benar, maka bagaimana nasib orang yang ketika hidupnya belum sempat mendapatkan “akhir tahun”? Wallahul Musta’an.
Abdul Aziz bin Abi Rawwad menyatakan bahwa manusia ada 3 golongan:
1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Maksudnya, amal perbuatannya hari ini lebih baik dari hari kemarin.
2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin. Dengan demikian, amal perbuatannya hari ini sama dengan hari kemarin.
3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Ini berarti, amal perbuatannya hari ini lebih sedikit atau dosa yang diperbuatnya lebih banyak dari hari kemarin.
Maka dimanakah kita diantara ketiga golongan tersebut?
Metode yang bagus untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan selalu mengintrospeksi dirinya. Hal itu pun telah banyak disebutkan oleh para ulama, di antaranya Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya sendiri karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi."
Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhud dan at-Tirmidziy dalam Sunannya meriwayatkan secara mauquf dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang! Sesungguhnya berinstropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab kemudian hari.”
Begitu juga dengan hari ‘aradh (diperlihatkanya amalan seseorang) yang agung. Allah Swt berfirman (artinya),
"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh… . (QS. Ali Imran: 30).
Jadi benarlah adanya, bagi setiap orang yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir untuk tidak melupakan introspeksi kepada dirinya, kerena dari situ seseorang bisa mengetahui kinerjanya dalam beramal shaleh dan bermaksiat.
Muhasabah Sebelum Beramal dan Sesudah Beramal
Sebelum kita berbuat (beramal), sebagai orang yang mempunyai akal, tentunya kita berpikir bahwa untuk memulai suatu pekerjaan bagusnya bagi setiap orang itu menanyakan kepada dirinya terlebih dahulu. Untuk apa sebenarnya dia melakukan amalan tersebut? Dan untuk siapa dia melakukannya? Karena begitu banyak orang yang tergesa-gesa melakukakan suatu pekerjaan tanpa memikirkan mudharat dan maslahatnya, sehingga ketika telah melakukan pekerjaan tersebut barulah dia menyesali perbuatannya. Ada kaedah yang menyebutkan:
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Barang siapa yang tergesa-gesa untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan hal tersebut.
Muhasabah sebelum beramal, juga berkaitan dengan apa yang telah disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya yaitu bab Al 'Ilmu Qablal Qauli wal 'Amal (berilmu sebelum berkata-kata dan beramal). Oleh karena itu, seyogyanya setiap orang mengetahui ilmunya terlebih dahulu kemudian beramal dengannya. Apatah lagi itu perkara agama, maka wajib hukumnya bagi setiap kaum Muslimin untuk mengetahuinya.
Jadi muhasabah sebelum beramal adalah hendaknya setiap orang berhenti sejenak dan merenungkan di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu, tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik dari pada meninggalkanya. Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, "Seorang hamba berpikir di saat pertama ia ingin melakuan sesuatu. Jika itu karena Allah, ia lanjutkan. Dan jika bukan karena-Nya, ia menangguhkannya."
Dan perkataan Hasan al-Bashri ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam.".
Imam An-Nawawi memaknai hadits di atas dengan maksud, “Jika seseorang ingin berbicara dan pembicaraannya adalah sesuatu yang baik, benar, berpahala, baik wajib maupun sunnah, maka silahkan ia bicara. Tetapi jika belum jelas baginya bahwa pembicaraan itu baik dan berpahala, maka hendaknya ia diam, baik itu pembicaraan yang haram, makruh, atau pun mubah.”
Imam As-Syafi’i juga memahami makna hadits di atas, "Jika seseorang ingin berbicara hendaknya ia merenungkannya. Bila jelas tidak ada mudharatnya, berbicaralah ia. Namun sebaliknya, bila jelas baginya mudharat hendaknya ia tidak berbicara."
Sebagian ulama salaf lainnya juga menjelaskan perkataan Hasan al-Bashri di atas, yaitu ketika seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu amalan, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak? Jika tidak ada kemampuan untuk itu, hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir ulang, apakah melakukannya lebih baik dari pada meninggalkannya, ataukah sebaliknya? Jika yang ada adalah kemungkinan yang kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Akan tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah dan pahala-Nya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian dan harta benda semata?
Maksud dari semua itu, hendaknya setiap orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan memuhasabah dirinya terlebih dahulu sebelum mengamalkannya agar pelakunya tidak sia-sia mengerjakan perbuatan tersebut.
Hidup di Dunia Hanya Sementara
Firman Allah Swt (artinya),
"Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (QS. Al-Anbiyaa': 1).
Alangkah beruntungnya siapa pun yang saat ini semakin tersentakkan kesadarannya bahwa satu hal yang paling mahal dalam hidup ini ialah ketika mengetahui kehidupan di dunia hanya sementara. Ya, hidup ini hanya satu kali.
Adapun ujung dari perjalanan hidup ini hanyalah salah satu: "Surga atau neraka". Tidak ada yang lain. Orang tua, istri, anak-anak, dan siapa pun orang-orang yang kita cintai, pun akan menghuni salah satu dari dua: Surga atau neraka.
Surga hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang ketika hidup di dunia benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia amat menjaga apa pun yang Allah inginkan. Dia amat memelihara apa pun yang Allah perintahkan. Ini membuat Allah Swt senang kepada orang tersebut. Sehingga ketika hidup di dunia hatinya selalu dibahagiakan. Kebutuhannya dicukupi. Kesulitannya dimudahkan. Bahkan Allah Swt akan mendatangkan rezki untuknya dari arah yang tidak disangka-sangka.
Allah Swt pun membelanya setiap kali orang itu membutuhkan pembelaan. Dia pun mengangkat derajat kemuliaannya, sehingga tidak dapat diruntuhkan oleh siapa pun jua. Allah akan membuat dunia ini bertekuk lutut kepadanya dan menghamba meladeninya.Bila saat ajalnya tiba, maka Allah akan mencabut nyawa orang yang taat penuh dengan keindahan dan kelezatan husnul khatimah. Ketika jasadnya dimasukkan ke lubang kubur, maka kubur itu akan menyambutnya bagaikan seorang ibu yang amat merindukan anaknya yang telah lama tak bersua. Kubur akan mendekapnya penuh dengan kehangatan dan kemesraan. Tidak ada siksa kubur baginya. Tidak ada padang mahsyar yang menyakitkan. Tidak pula siksa neraka jahannam. Semua itu diberikan khusus kepada siapa pun yang ketika hidup yang singkat di dunia ini, ia menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi, Allah pun menyediakan neraka jahannam, yang nyalanya berkobar-kobar. Kalau manusia berdiri di atas bara api dunia, maka api itu hanya akan membakar telapak kaki. Lain lagi api neraka. Bila seorang manusia berdiri di atas bara api neraka, atau bahkan hanya mengenakan sandal penghuni neraka, maka telapak kaki yang menempel itu akan membuat kepalanya mendidih.
Neraka disediakan bagi orang-orang yang tidak menyadari kedudukan mereka di hadapan Allah, bahwa dirinya itu adalah ciptaan Allah , milik Allah dan pasti kembali kepada Allah Swt.
Wallohul Haadi Ilaa Sawaa-is Sabi,,
Semoga bermanfaat ..
Ada salah kata Kurang lebihnya kepada sohabat Fillah smuanya kami minta ma'af kepada-Nya kami Mohon ampun...
Selamat malam selamat beristirahat....
Muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikkan dengan menilai diri sendiri. Dalam melakukan muhasabah, seorang Muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik (beribadah) ataukah malah lebih banyak berbuat jahat (bermaksiat) dalam kehidupan sehari-hari. Dia mesti objektif melakukan penilaian, dengan menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama untuk melakukan penilaian, bukan berdasar keinginan hawa nafsunya.
Idealnya seorang muslim melakukan muhasabah tiap hari. Menjelang tidur, kita mengevaluasi diri kita, apakah kita hari ini sudah melakukan banyak kebajikan atau kejahatan? Seberapa banyak kejahatan yang kita lakukan? Seberapa banyak kebaikan yang kita perbuat? Dan bukan sebagaimana anggapan orang pada saat ini yang mengatakan bahwa waktu yang paling tepat untuk mengintrospeksi perbuatan yang telah kita kerjakan hanya di akhir tahun atau pada saat adanya bencana. Taruhlah jika anggapan itu benar, maka bagaimana nasib orang yang ketika hidupnya belum sempat mendapatkan “akhir tahun”? Wallahul Musta’an.
Abdul Aziz bin Abi Rawwad menyatakan bahwa manusia ada 3 golongan:
1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Maksudnya, amal perbuatannya hari ini lebih baik dari hari kemarin.
2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin. Dengan demikian, amal perbuatannya hari ini sama dengan hari kemarin.
3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Ini berarti, amal perbuatannya hari ini lebih sedikit atau dosa yang diperbuatnya lebih banyak dari hari kemarin.
Maka dimanakah kita diantara ketiga golongan tersebut?
Metode yang bagus untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan selalu mengintrospeksi dirinya. Hal itu pun telah banyak disebutkan oleh para ulama, di antaranya Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya sendiri karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi."
Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhud dan at-Tirmidziy dalam Sunannya meriwayatkan secara mauquf dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang! Sesungguhnya berinstropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab kemudian hari.”
Begitu juga dengan hari ‘aradh (diperlihatkanya amalan seseorang) yang agung. Allah Swt berfirman (artinya),
"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh… . (QS. Ali Imran: 30).
Jadi benarlah adanya, bagi setiap orang yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir untuk tidak melupakan introspeksi kepada dirinya, kerena dari situ seseorang bisa mengetahui kinerjanya dalam beramal shaleh dan bermaksiat.
Muhasabah Sebelum Beramal dan Sesudah Beramal
Sebelum kita berbuat (beramal), sebagai orang yang mempunyai akal, tentunya kita berpikir bahwa untuk memulai suatu pekerjaan bagusnya bagi setiap orang itu menanyakan kepada dirinya terlebih dahulu. Untuk apa sebenarnya dia melakukan amalan tersebut? Dan untuk siapa dia melakukannya? Karena begitu banyak orang yang tergesa-gesa melakukakan suatu pekerjaan tanpa memikirkan mudharat dan maslahatnya, sehingga ketika telah melakukan pekerjaan tersebut barulah dia menyesali perbuatannya. Ada kaedah yang menyebutkan:
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Barang siapa yang tergesa-gesa untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan hal tersebut.
Muhasabah sebelum beramal, juga berkaitan dengan apa yang telah disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya yaitu bab Al 'Ilmu Qablal Qauli wal 'Amal (berilmu sebelum berkata-kata dan beramal). Oleh karena itu, seyogyanya setiap orang mengetahui ilmunya terlebih dahulu kemudian beramal dengannya. Apatah lagi itu perkara agama, maka wajib hukumnya bagi setiap kaum Muslimin untuk mengetahuinya.
Jadi muhasabah sebelum beramal adalah hendaknya setiap orang berhenti sejenak dan merenungkan di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu, tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik dari pada meninggalkanya. Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, "Seorang hamba berpikir di saat pertama ia ingin melakuan sesuatu. Jika itu karena Allah, ia lanjutkan. Dan jika bukan karena-Nya, ia menangguhkannya."
Dan perkataan Hasan al-Bashri ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam.".
Imam An-Nawawi memaknai hadits di atas dengan maksud, “Jika seseorang ingin berbicara dan pembicaraannya adalah sesuatu yang baik, benar, berpahala, baik wajib maupun sunnah, maka silahkan ia bicara. Tetapi jika belum jelas baginya bahwa pembicaraan itu baik dan berpahala, maka hendaknya ia diam, baik itu pembicaraan yang haram, makruh, atau pun mubah.”
Imam As-Syafi’i juga memahami makna hadits di atas, "Jika seseorang ingin berbicara hendaknya ia merenungkannya. Bila jelas tidak ada mudharatnya, berbicaralah ia. Namun sebaliknya, bila jelas baginya mudharat hendaknya ia tidak berbicara."
Sebagian ulama salaf lainnya juga menjelaskan perkataan Hasan al-Bashri di atas, yaitu ketika seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu amalan, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak? Jika tidak ada kemampuan untuk itu, hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir ulang, apakah melakukannya lebih baik dari pada meninggalkannya, ataukah sebaliknya? Jika yang ada adalah kemungkinan yang kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Akan tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah dan pahala-Nya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian dan harta benda semata?
Maksud dari semua itu, hendaknya setiap orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan memuhasabah dirinya terlebih dahulu sebelum mengamalkannya agar pelakunya tidak sia-sia mengerjakan perbuatan tersebut.
Hidup di Dunia Hanya Sementara
Firman Allah Swt (artinya),
"Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (QS. Al-Anbiyaa': 1).
Alangkah beruntungnya siapa pun yang saat ini semakin tersentakkan kesadarannya bahwa satu hal yang paling mahal dalam hidup ini ialah ketika mengetahui kehidupan di dunia hanya sementara. Ya, hidup ini hanya satu kali.
Adapun ujung dari perjalanan hidup ini hanyalah salah satu: "Surga atau neraka". Tidak ada yang lain. Orang tua, istri, anak-anak, dan siapa pun orang-orang yang kita cintai, pun akan menghuni salah satu dari dua: Surga atau neraka.
Surga hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang ketika hidup di dunia benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia amat menjaga apa pun yang Allah inginkan. Dia amat memelihara apa pun yang Allah perintahkan. Ini membuat Allah Swt senang kepada orang tersebut. Sehingga ketika hidup di dunia hatinya selalu dibahagiakan. Kebutuhannya dicukupi. Kesulitannya dimudahkan. Bahkan Allah Swt akan mendatangkan rezki untuknya dari arah yang tidak disangka-sangka.
Allah Swt pun membelanya setiap kali orang itu membutuhkan pembelaan. Dia pun mengangkat derajat kemuliaannya, sehingga tidak dapat diruntuhkan oleh siapa pun jua. Allah akan membuat dunia ini bertekuk lutut kepadanya dan menghamba meladeninya.Bila saat ajalnya tiba, maka Allah akan mencabut nyawa orang yang taat penuh dengan keindahan dan kelezatan husnul khatimah. Ketika jasadnya dimasukkan ke lubang kubur, maka kubur itu akan menyambutnya bagaikan seorang ibu yang amat merindukan anaknya yang telah lama tak bersua. Kubur akan mendekapnya penuh dengan kehangatan dan kemesraan. Tidak ada siksa kubur baginya. Tidak ada padang mahsyar yang menyakitkan. Tidak pula siksa neraka jahannam. Semua itu diberikan khusus kepada siapa pun yang ketika hidup yang singkat di dunia ini, ia menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi, Allah pun menyediakan neraka jahannam, yang nyalanya berkobar-kobar. Kalau manusia berdiri di atas bara api dunia, maka api itu hanya akan membakar telapak kaki. Lain lagi api neraka. Bila seorang manusia berdiri di atas bara api neraka, atau bahkan hanya mengenakan sandal penghuni neraka, maka telapak kaki yang menempel itu akan membuat kepalanya mendidih.
Neraka disediakan bagi orang-orang yang tidak menyadari kedudukan mereka di hadapan Allah, bahwa dirinya itu adalah ciptaan Allah , milik Allah dan pasti kembali kepada Allah Swt.
Wallohul Haadi Ilaa Sawaa-is Sabi,,
Semoga bermanfaat ..
Ada salah kata Kurang lebihnya kepada sohabat Fillah smuanya kami minta ma'af kepada-Nya kami Mohon ampun...
Selamat malam selamat beristirahat....
No comments:
Post a Comment