TUGAS HALAQOH
“KHULASHOH FIQH QURBAN”
Disusun Oleh:
Alex Nanang Agus Sifa, S.Fil.I
Guru SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02
Purwokerto
(Dalam rangka memenuhi tugas halaqoh
pekanan)
الخلاصة
عن فقه القربان
قدمها:
أليكس ناننج أكوس
سيفا
(مدرس المدرسة
الإبتدائية 2 الإرشاد الإسلامية بورواكيرطا)
AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH PURWOKERTO
2013 / 1434
DAFTAR ISI
PENGERTIAN
QURBAN
DISYARIATKANNYA
QURBAN
HUKUM QURBAN
HEWAN QURBAN
SHAHIBUL QURBAN
TATA CARA
PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN
HIKMAH QURBAN
REFERENSI
- PENGERTIAN QURBAN
‘Iedul Qurban adalah salah satu hari raya di antara
dua hari raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah shubhaana
wa ta'ala bagi ummat Muhammad shallallahu 'alahi wa sallam . Hal ini
diterangkan dalam hadits Anas radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Nabi shallallahu
'alahi wa sallam datang, sedangkan
penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka
ria padanya (tahun baru dan hari pemuda/aunul mabud), maka (beliau) bersabda:
“Aku datang
kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersuka ria
padanya di masa jahiliyyah, kemudian Allah menggantikan untuk kalian du a hari
raya yang lebih baik dari keduanya; hari ‘Iedul Qurban dan hari ‘Iedul Fitri.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan Al-Baghawi, shahih, lihat Ahkamul
Iedain hal. 8).
Selain itu, pada Hari Raya Qurban terdapat ibadah yang besar pahalanya
di sisi Allah shubhaana wa ta'ala , yaitu shalat ‘Ied dan menyembelih hewan qurban.
Secara etimologis, qurban berarti penyembelihan hewan yang
dilakukan pada hari hari raya idul adha.
Adapun secara syar'i qurban adalah
penyembelihan hewan tertentu. Seperti hewan Unta, sapi, kerbau dan kambing
dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengharap ridho dariNya
yang dilakukan pada waktu tertentu yaitu setelah sholat idul ahda dan hari hari
tasyrik (11,12,13 hijriyah).
Adapun Udhiyah
atau Dhahiyyah adalah nama atau istilah yang diberikan kepada hewan sembelihan
(unta, sapi atau kambing) pada hari ‘Iedul Adha dan pada hari-hari
Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) dalam rangka ibadah dan bertaqarrub
kepada Allahshubhaana wa ta'ala.
- DISYARIATKANNYA QURBAN
Udhiyah (qurban)
disyariatkan berda-sarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
a. Dalil Al Qur’an
Firman Allah shubhaana
wa ta'ala :
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
“Maka dirikanlah shalat karena
Rabbmu dan berqurbanlah” (QS. Al Kautsar : 2)
Berkata
sebahagian ahli tafsir yang dimaksud dengan berqurban dalam ayat ini adalah
menyembelih udhiyah (hewan qurban) yang dilakukan sesudah shalat ‘Ied (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 4:505 dan Al Mughni 13:360)
b. Dalil As
Sunnah
Diriwayatkan
dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Nabi shallallahu 'alahi wa
sallam berqurban dengan dua ekor
domba jantan yang keduanya berwarna putih bercampur hitam dan bertanduk. Beliau shallallahu
'alahi wa sallam menyembelih
keduanya dengan tangan beliau sendiri sambil membaca basmalah dan bertakbir”
(HR. Bukhari dan Muslim).
c. Dalil Ijma’
Seluruh kaum
muslimin telah bersepakat tentang disyariatkannya (Lihat Al Mughni 13:360).
- HUKUM QURBAN
Hukum Udhiyah
adalah Sunnah Muakkadah (sangat ditekankan) bahkan sebagian ulama mewajibkan
bagi yang mampu, namun pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan
sunnah muakkadah dan dimakruhkan meninggalkannya bagi orang yang sanggup
mengerjakannya.
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Tidak
ada khabar yang shahih yang menunjukkan bahwa salah seorang dari shahabat
memandang hukumnya wajib”
Hukum sunnah ini bisa menjadi wajib oleh satu dari
dua sebab berikut:
-Jika seseorang bernadzar untuk berqurban.
-Jika seseorang bernadzar untuk berqurban.
-Jika ia telah mengatakan ketika membeli (memiliki)
hewan tersebut: “Ini adalah hewan udhiyah (qurban)” atau dengan perkataan yang
semakna dengannya.
Beberapa
ulama menyatakan bahwa berqurban itu lebih utama daripada sedekah yang nilainya
sepadan. Bahkan lebih utama daripada membeli daging yang seharga atau bahkan
yang lebih mahal dari harga binatang qurban tersebut kemudian daging tersebut
disedekahkan. Sebab, tujuan yang terpenting dari berqurban itu adalah taqarrub
kepada Allah melalui penyembelihan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/521 dan Tuhfatul
Maulud hal. 65).
- SHAHIBUL QURBAN
Hukum-hukum
dan Adab-adab yang terkait
dengan orang yang berqurban:
1. Syariat berqurban adalah umum,
mencakup lelaki, wanita, yang telah berkeluarga, lajang dari kalangan kaum
muslimin, karena dalil-dalil yang ada adalah umum.
2. Diperbolehkan berqurban dari
harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka menghendakinya. Artinya, bila
tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih tidak bisa makan daging qurban
sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427)
3. Diperbolehkan bagi seseorang
berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah
sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan
kaki)
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai
fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar
harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698)
4. Dipersyaratkan hewan tersebut
adalah miliknya dengan cara membeli atau yang lainnya. Adapun bila hewan
tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka
tidak sah.
إِنََّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلاَّ
طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima
kecuali yang baik.” (HR. Muslim No. 1015 dari Abu
Hurairah)
Begitu pula bila dia menyembelih
hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak sah.
5. Bila dia mati setelah men-ta’yin
hewan qurbannya, maka hewan tersebut tidak boleh dijual untuk menutupi
hutangnya. Namun hewan tersebut tetap disembelih oleh ahli warisnya.
6. Disunnahkan baginya untuk
menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan diperbolehkan bagi dia untuk
mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan Rasulullah n sebagaimana hadits:
ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
“Rasulullah menyembelih kedua
(kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari No. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib yang
telah lewat, di mana beliau diperintah oleh Rasulullah n untuk menangani
unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang
berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan
kukunya hingga hewan qurbannya disembelih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah,
dia berkata: Rasulullah bersabda:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Apabila telah masuk 10 hari pertama
(Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka janganlah dia
mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)
Dalam lafadz lain:
وَلاَ بَشَرَتِهِ
“Tidak pula kulitnya.”
Larangan dalam hadits ini ditujukan
kepada pihak yang berqurban, bukan pada hewannya. Sebab mengambil bulu hewan
tersebut untuk kemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya.
Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada
hadits di atas kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam
hadits ini ditujukan khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau
pihak yang disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya.
Sebab, yang disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.
- Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum
hewannya disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan
sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
- Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari
pertama Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin
qurbannya.
- Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain,
tidak terkena larangan di atas.
- Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang
mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
8. Disyariatkan untuk memakan
sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah:
“Maka makanlah sebagian darinya.”
(Al-Hajj: 28)
Juga tindakan Rasulullah yang
memakan sebagian dari hewan qurbannya.
9. Diperbolehkan menyimpan daging
qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Beliau bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ
لُـحُومِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
“Dahulu aku melarang kalian
menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah)
semau kalian.”
(HR. Muslim No. 1977 dari Buraidah)
10. Disyariatkan untuk menyedekahkan
sebagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah l berfirman:
“Berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)
Juga firman-Nya:
“Beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.”
(Al-Hajj: 36)
Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيرَ adalah orang faqir yang menjaga kehormatan dirinya tidak
mengemis padahal dia sangat butuh. Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid.
Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ
adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْـمُعْتَرَّ adalah
orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian
penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari.
11. Diperbolehkan memberikan
sebagian dagingnya kepada orang kaya sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa
kasih sayang di kalangan muslimin.
12. Diperbolehkan memberikan
sebagian dagingnya kepada orang kafir sebagai hadiah dan upaya melembutkan
hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada
orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan
kepada orang kafir.
Dan yang dimaksud dengan kafir
disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa
tentang hal ini (11/424-425, no. 1997).
13. Diperbolehkan membagikan daging
qurban dalam keadaan mentah ataupun masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang
hewan tersebut.
Demikian beberapa hukum dan adab
terkait dengan qurban yang dapat dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga
bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.
Menurut Asy Syaikh Ali bin Hasan bin
Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, ada 15 hal yang berkaitan penyembelih
hewan qurban. Sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk mengetahuinya agar
ia berada di atas ilmu dalam melakukan ibadahnya, dan di atas keterangan yang
nyata dari urusannya.
Pertama
: Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam
berqurban dengan dua ekor domba jantan (Akan datang dalilnya pada point ke
delapan) yang disembelihnya setelah shalat Ied. Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam
mengabarkan (yang artinya): “ Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka
tidaklah termasuk qurban sedikitpun, akan tetapi hanyalah daging sembelihan
biasa yang diberikan untuk keluarganya” (Riwayat Bukhari (5560) dan Muslim
(1961) dan Al-Bara’ bin Azib)
Kedua : Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam
memerintahkan kepada para sahabatnya agar mereka menyembelih jadza’ dari domba,
dan tsaniyya dari yang selain domba (Berkata Al-Hafidzh dalam “Fathul Bari”
(10/5) : Jadza’ adalah gambaran untuk usia tertentu dari hewan ternak, kalau
dari domba adalah yang sempurna berusia setahun, ini adalah ucapan jumhur. Adapula yang mengatakan : di bawah
satu tahun, kemudian diperselisihkan perkiraannya, maka ada yang mengatakan 8
dan ada yang mengatakan 10. Tsaniyya dari unta adalah yang telah sempurna
berusia 5 tahun, sedang dari sapi dan kambing adalah yang telah sempurna
berusia 2 tahun. Lihat “Zadul Ma’ad” (2/317).)
Mujasyi bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa
Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya
jadza’ dari domba memenuhi apa yang memenuhi tsaniyya dari kambing”
(‘Shahihul Jami’ (1592), lihat ” Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah” (1/87-95).)
Ketiga : Boleh mengakhirkan penyembelihan pada
hari kedua dan ketiga setelah Idul Adha, karena hadits yang telah tsabit dari
Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam : (bahwa) beliau bersabda : (yang artinya) : “
Setiap hari Tasyriq ada sembelihan” ( Dikeluarkan oleh Ahmad (4/8),
Al-Baihaqi (5/295), Ibnu Hibban (3854) dan Ibnu Adi dalam “Al-Kamil” (3/1118)
dan pada sanadnya ada yang terputus. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabari dalam ‘Mu’jamnya” dengan
sanad yang padanya ada kelemahan (layyin). Hadits ini memiliki pendukung yang
diriwayatkan Ibnu Adi dalam “Al-Kamil” dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad
yang padanya ada kelemahan. Hadits ini hasan Insya Allah, lihat ‘Nishur Rayah”
(3/61).)
Berkata ibnul Qayyim rahimahullah “Ini adalah madzhabnya
Ahmad, Malik dan Abu Hanifah semoga Allah merahmati mereka semua. Berkata Ahmad : Ini merupakan
pendapatnya lebih dari satu sahabat Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam.
Al-Atsram menyebutkannya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum”(
Zadul Ma’ad (2/319))
Keempat : Termasuk petunjuk Nabi
Shalallahu’alaihi Wassallam bagi orang yang ingin menyembelih qurban agar tidak
mengambil rambut dan kulitnya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama dari
sepuluh hari yang awal bulan Dzulhijjah. Telah pasti larangan yang demikian itu. (Telah lewat
takhrijnya pada halaman 66, lihat ‘Nailul Authar” (5/200-203).)
Berkata An-Nawawi dalam “Syarhu
Muslim” (13/138-39). “Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan
rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau
memecahkannya, atau yang selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan
mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat
tertentu (Campuran tertentu yang digunakan untuk menghilangkan rambut.) atau
selainnya. Sama saja apakah itu rambut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut
kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang berada di tubuhnya“.
Berkata Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (11/96) “Kalau
ia terlanjur mengerjakannya maka hendaklah mohon ampunan pada Allah Ta’ala dan
tidak ada tebusan karenanya berdasarkan ijma, sama saja apakah ia melakukannya
secara sengaja atau karena lupa“.
Kelima
: Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam memilih
hewan qurban yang sehat, tidak cacat. Beliau melarang untuk berqurban
dengan hewan yang terpotong telinganya atau patah tanduknya (Sebagaimana diriwayatkan
oleh Ahmad (1/83, 127,129 dan 150), Abu Daud (2805), At-Tirmidzi (1504),
An-Nasa’i (7/217) Ibnu Majah (3145) dan Al-Hakim (4/224) dari Ali radhiyallahu
‘anhu dengan isnad yang hasan.). Beliau memerintahkan untuk memperhatikan
kesehatan dan keutuhan (tidak cacat) hewan qurban, dan tidak boleh berqurban
dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula dengan muqabalah, atau mudabarah,
dan tidak pula dengan syarqa’ ataupun kharqa’ semua itu telah pasti larangan
nya.( Muqabalah adalah hewan yang dipotong bagian depan telinganya. Mudabarah :
hewan yang dipotong bagian belakang telinganya. Syarqa : hewan yang terbelah
telinganya dan Kharqa : hewan yang sobek telinganya. Hadits tentang hal ini
isnadnya hasan diriwayatkan Ahmad (1/80 dan 108) Abu Daud (2804), At-Tirmidzi
(4198) An-Nasa’i (7/216) Ibnu Majah (3143) Ad-Darimi (2/77) dan Al-Hakim
(4/222) dari hadits Ali radhiyallahu ‘anhu.)
Boleh berqurban dengan domba jantan yang dikebiri karena
ada riwayat dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam yang dibawakan Abu Ya’la
(1792) dan Al-Baihaqi (9/268) dengan sanad yang dihasankan oleh Al-Haitsami
dalam ” Majma’uz Zawaid” (4/22).
Keenam: Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam
menyembelih qurban di tanah lapang tempat dilaksanakannya shalat. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (5552) An-Nasai 97/213) dan Ibnu Majah (3161) dari Ibnu Umar.)
Ketujuh: Termasuk petunjuk Nabi
Shalallahu’alaihi Wassallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai qurban dari
seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Atha’ bin Yasar (Wafat tahun (103H) biografisnya bisa
dibaca dalam “Tahdzibut Tahdzib” (7/217).) : Aku bertanya kepada Abu Ayyub
Al-Anshari : “Bagaimana hewan-hewan qurban pada masa Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam?” Ia menjawab : “Jika seorang pria berqurban dengan
satu kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan
memberi makan yang lain” (Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu
Majah (3147) dan Al-Baihaqi (9/268) dan isnadnya hasan.)
Kedelapan: Disunnahkan bertakbir dan
mengucapkan basmalah ketika menyembelih qurban, karena ada riwayat dari
Anas bahwa ia berkata : (yang artinya) : “ Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam
berqurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan
bertanduk. beliau menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucap basmalah dan
bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba
tersebut” (Diriwayatkan oleh Bukhari (5558), (5564), (5565), Muslim (1966)
dan Abu Daud (2794).)
Kesembilan: Hewan qurban yang afdhal (lebih
utama) berupa domba jantan (gemuk) bertanduk yang berwarna putih bercampur
hitam di sekitar kedua matanya dan di kaki-kakinya, karena demikian sifat hewan
qurban yang disukai Rasulullah (Sebagaimana dalam hadits Aisyah yang
diriwayatkan Muslim (1967) dan Abu Daud (2792).)
Kesepuluh: Disunnahkan seorang muslim untuk
bersentuhan langsung dengan hewan qurbannya (menyembelihnya sendiri) dan
dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam
menyembelih hewan qurbannya. (Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan
ini di antara ulama, lihat point ke 13 ).
Kesebelas: Disunnahkan bagi keluarga yang
menyembelih qurban untuk ikut makan dari hewan qurban tersebut dan
menghadiahkannya serta bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk
menyimpan daging qurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi
Wassallam (yang artinya) : “ Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah”
(Diriwayatkan oleh Bukhari (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain
mereka dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Adapun riwayat larangan untuk
menyimpan daging qurban mansukh (dihapus), lihat ‘Fathul Bari’ (10/25-26)
dan “AlI’tibar” (120-122). Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.)
Kedua
belas: Badanah
(unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai qurban dari tujuh orang.
Imam Muslim telah meriwayatkan dalam “Shahihnya” (350) dari Jabir radhiyallahu
‘anhu ia berkata (yang artinya) : “ Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama
Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi
betina untuk tujuh orang”
Ketiga belas: Upah bagi tukang sembelih qurban atas
pekerjaannya tidak diberikan dari hewan qurban tersebut, karena ada riwayat
dari Ali radhiyallahu ia berkata. (yang artinya): “Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam memerintahkan aku untuk mengurus qurban-qurbannya,
dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya
(Dalam Al-Qamus yang dimaksud adalah apa yang dikenakan hewan tunggangan untuk
berlindung dengannya.) dan aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun
dari hewan qurban itu. Beliau
bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami” (Diriwayatkan dengan lafadh ini
oleh Muslim (317), Abu Daud (1769) Ad-Darimi (2/73) Ibnu Majah (3099)
Al-baihaqi (9/294) dan Ahmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhari meriwayatkannya
(1716) tanpa lafadh : “Kami akan memberinya dari sisi kami“.)
Keempat belas: Siapa di antara kaum muslimin yang
tidak mampu untuk menyembelih qurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang
menyembelih dari umat Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam karena Nabi berkata
ketika menyembelih salah satu domba (yang artinya) : “ Ya Allah ini dariku dan
ini dari orang yang tidak menyembelih dari kalangan umatku” ( Telah lewat
takhrijnya pada halaman 70)
Kelima belas: Berkata Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni”
(11/95): “Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam dan Al-Khulafaur rasyidun sesudah
beliau menyembelih qurban. Seandainya mereka tahu sedekah itu lebih utama niscaya
mereka menuju padanya. Dan karena mementingkan/ mendahulukan sedekah atas qurban
mengantarkan kepada ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam.
- HEWAN QURBAN
Secara umum, hewan yang diqurbankan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Harus Dari Binatang Ternak
Binatang
ternak tersebut berupa unta, sapi, kambing ataupun domba. Hal ini sebagaimana
firman Allah (artinya):
“Dan
bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada
mereka.” (Al Hajj: 34)
Jika
seseorang menyembelih binatang selain itu -walaupun harganya lebih mahal- maka tidak
diperbolehkan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/ 477 dan Al Majmu’ 8/222)
b.
Harus Mencapai Usia Musinnah dan Jadza’ah
Hal ini didasarkan sabda Nabi :
لاَ
تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا
جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
“Janganlah
kalian menyembelih kecuali setelah mencapai usia musinnah (usia yang cukup bagi
unta, sapi dan kambing untuk disembelih, pen). Namun apabila kalian mengalami
kesulitan, maka sembelihlah binatang yang telah mencapai usia jadza’ah (usia
yang cukup, pen) dari domba.” (H.R. Muslim)
Oleh
karena tidak ada ketentuan syar’i tentang batasan usia tersebut maka terjadilah
perselisihan di kalangan para ulama. Akan tetapi pendapat yang paling banyak
dipilih dan dikenal di kalangan mereka adalah: unta berusia 5 tahun, sapi
berusia 2 tahun, kambing berusia 1 tahun dan domba berusia 6 bulan. Pendapat
ini dipilih oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Asy Syarhul
Mumti’ 7/ 460.
c.
Tidak Cacat
Klasifikasi
cacat sebagaimana disebutkan Nabi dalam sabdanya:
أَرْبَعٌ
لاَتَجُوْزُ فِيْ اْلأَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوْرُهاَ
وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ضِلْعُهَا
وَاْلكَسِيْرُ -وَفِي لَفْظٍ- اَلْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لاَ تُنْقِيْ
“Empat
bentuk cacat yang tidak boleh ada pada binatang qurban: buta sebelah yang jelas
butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya dan kurus
yang tidak bersumsum.” (H.R. Abu Dawud dan selainnya dengan sanad shahih)
Lantas,
diantara para ulama memberikan kesimpulan sebagai berikut:
-
Kategori cacat (didalam As Sunnah) yang tidak boleh ada pada
binatang qurban adalah empat bentuk tadi. Kemudian dikiaskan kepadanya, cacat yang
semisal atau yang lebih parah dari empat bentuk tersebut.
-
Kategori cacat yang hukumnya makruh seperti terbakar atau
robek telinga dan patah tanduk yang lebih dari setengah.
-
Adapun cacat yang tidak teriwayatkan tentang larangannya
-walaupun mengurangi kesempurnaan- maka ini masih diperbolehkan. (Asy Syarhul
Mumti’ 7/476-477 dan selainnya)
Walaupun
kategori yang ketiga ini diperbolehkan, namun sepantasnya bagi seorang muslim
memperhatikan firman Allah (artinya):
“Kalian
tidak akan meraih kebaikan sampai kalian menginfakkan apa-apa yang kalian
cintai.” (Ali
Imran: 92)
d.
Jenis Binatang Apa Yang Paling Utama
Para
ulama berbeda pendapat tentang jenis binatang yang paling utama untuk dijadikan
qurban. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang shahih dan jelas yang
menentukan jenis binatang yang paling utama, wallahu a’lam. Asy Syaikh Muhammad
Amin Asy Syanqithi rahimahullah tidak menguatkan salah satu pendapat para ulama
yang beliau sebutkan dalam kitab Adwa’ul Bayan 5/435, karena nampaknya
masing-masing mereka memiliki alasan yang cukup kuat.
Hanya
saja seseorang yang mau berqurban hendaknya memberikan yang terbaik dari apa
yang dia mampu dan tidak meremehkan perkara ini. Allah mengingatkan (artinya):
“Wahai
orang-orang yang beriman, berinfaklah dengan sebagian yang baik dari usaha
kalian dan sebagian yang Kami tumbuhkan di bumi ini untuk kalian. Janganlah
kalian memilih yang buruk lalu kalian infakkan padahal kalian sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata. Ketahuilah bahwa Allah Maha
Kaya dan Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)
Jumlah
Binatang Qurban
a.
Satu Kambing Mewakili Qurban Sekeluarga
Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu’anhu menuturkan: “Dahulu
ada seseorang dimasa Rasulullah menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan
keluarganya.” (H.R. At
Tirmidzi dan selainnya dengan sanad shahih)
b.
Satu Unta Atau Sapi Mewakili Qurban Tujuh Orang Dan Keluarganya
Hal ini dikemukakan Jabir bin
Abdillah: “Kami dulu bersama Rasulullah pernah menyembelih seekor unta gemuk
untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang pula pada tahun Al
Hudaibiyyah.” (H.R. Muslim)
- TATA CARA PENYEMBELIHAN HEWAN
QURBAN
Berikut
ini akan disebutkan beberapa hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik
itu qurban ataupun yang lain.
I. Hewan sembelihan dinyatakan sah
dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan
ini merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun
jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak
membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut
haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada.
Dasarnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban.
Dasarnya adalah hadits Anas z riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no.
1966), bahwa Nabi n berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih
bercampur hitam lagi bertanduk:
وَيُسَمِّي
وَيُكَبِّرُ
“Beliau
membaca basmalah dan bertakbir.”
b. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang
gila tidak sah sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada niat
dan kehendak pada dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
c. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi
atau Nasrani). Untuk muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab,
dasarnya adalah firman Allah l:
“Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah
sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli
kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam.
Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak
boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab
qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah, maka tidak sah kecuali
dilakukan oleh seorang muslim.
d.
Terpancarnya darah
Dan
ini akan terwujud dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak
boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih
dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij z, dari Nabi n,
beliau bersabda:
مَا
أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ
وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang memancarkan
darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan
kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat
menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)
Juga
perintah Rasulullah n kepada Aisyah x ketika hendak menyembelih hewan qurban:
يَا
عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ
“Wahai
Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat
itu dengan batu.”
(HR. Muslim no. 1967)
2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi
tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut
pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan
terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.
Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal:
1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal
yang meliputi tenggorokan
3. Al-Hulqum yaitu tempat
pernafasan.
4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan
dan minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan
penyembelihan adalah:
- Bila terputus semua maka itu lebih
afdhal.
- Bila terputus al-wadjan dan
al-hulqum maka sah.
- Bila terputus al-wadjan dan
al-mari` maka sah.
- Bila terputus al-wadjan saja maka
sah.
- Bila terputus al-hulqum dan
al-mari`, terjadi perbedaan pendapat. Yang rajih adalah tidak sah.
- Bila terputus al-hulqum saja maka
tidak sah.
- Bila terputus al-mari` saja maka
tidak sah.
- Bila terputus salah satu dari
al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh, 6/52-53)
II. Merebahkan hewan tersebut dan
meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat
dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik z, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan
Rasulullah:
وَيَضَعُ
رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Dan
beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim
no. 1966)
Juga
hadits Aisyah:
فَأَضْجَعَهُ
ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Lalu
beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”
III. Disunnahkan bertakbir ketika
hendak menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas z di atas,
dan diucapkan setelah basmalah.
IV. Bila dia mengucapkan:
بِسْمِكَ
اَللَّهُمَّ أَذْبَحُ
“Dengan
nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan basmalah.
V. Bila dia menyebut nama-nama Allah
l selain Allah, maka hukumnya dirinci.
a. Bila nama tersebut khusus bagi Allah dan tidak boleh
untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq, maka
sah.
b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk,
seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.
VI. Tidak disyariatkan bershalawat
kepada Nabi ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan contohnya dari
beliau n maupun para sahabatnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)
VII. Berwudhu sebelum menyembelih
qurban adalah kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah dan salaf.
Namun
bila hal tersebut terjadi, maka sembelihannya sah dan halal dimakan, selama
terpenuhi ketentuan-ketentuan di atas.
VIII. Diperbolehkan berdoa kepada
Allah agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah, beliau berdoa:
اَللَّهُمَّ
تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah,
terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat
Muhammad.” (HR.
Muslim no. 1967, dari Aisyah)
IX. Tidak diperbolehkan melafadzkan
niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan:
اَللَّهُمَّ
هَذَا عَنْ فُلاَنِ
“Ya Allah,
sembelihan ini dari Fulan.”
Dan
ucapan tersebut tidak termasuk melafadzkan niat.
X. Yang afdhal adalah men-dzabh
(menyembelih) sapi dan kambing. Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu
disembelih dalam keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri,
lalu ditusuk di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan
dari Ziyad bin Jubair, dia berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar c mendatangi
seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum.
Beliau c berkata:
ابْعَثْهَا
قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ
“Bangkitkan
untamu dalam keadaan berdiri dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad.” (HR. Al-Bukhari No. 1713 dan Muslim
No. 1320/358)
Bila
terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing dan sapi serta men-dzabh unta, maka
sah dan halal dimakan menurut pendapat jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat
penyembelihannya.
XI. Tidak disyaratkan menghadapkan
hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam
sanadnya ada perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya
diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).
XII. Termasuk kebid’ahan adalah
melumuri jidat dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada contohnya dari
Nabi n dan para salaf. (Fatwa Al-Lajnah, 11/432-433, No. fatwa 6667)
Secara umum, tata cara penyembelihan hewan qurban sebagai
berikut:
a.
Menajamkan Pisau Dan Memperlakukan Binatang Qurban Dengan Baik
Rasulullah bersabda (artinya):
“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik terhadap segala sesuatu. Apabila
kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kalian
menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Hendaklah salah
seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan (tidak menyiksa)
sesembelihannya.” (H.R. Muslim)
b.
Menjauhkan Pisaunya Dari Pandangan Binatang Qurban
Cara ini
seperti yang diceritakan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah pernah
melewati seseorang yang meletakkan kakinya didekat leher seekor kambing,
sedangkan dia menajamkan pisaunya. Binatang itu pun melirik kepadanya. Lalu beliau bersabda
(artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini (sebelum
dibaringkan, pen)?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.”
(H.R. Ath Thabrani dengan sanad shahih)
c.
Menghadapkan Binatang Qurban Kearah Kiblat
Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Ibnu Umar
Radhiallahu’anhu dengan sanad yang shahih.
d.
Tata Cara Menyembelih Unta, Sapi, Kambing Atau Domba
Apabila sesembelihannya berupa unta,
maka hendaknya kaki kiri depannya diikat sehingga dia berdiri dengan tiga kaki.
Namun bila tidak mampu maka boleh dibaringkan dan diikat. Setelah itu antara
pangkal leher dengan dada ditusuk dengan tombak, pisau, pedang atau apa saja
yang dapat mengalirkan darahnya.
Sedangkan bila
sesembelihannya berupa sapi, kambing atau domba maka dibaringkan pada sisi
kirinya, kemudian penyembelih meletakkan kakinya pada bagian kanan leher
binatang tersebut. Seiring
dengan itu dia memegang kepalanya dan membiarkan keempat kakinya bergerak lalu
menyembelihnya pada bagian atas dari leher. (Asy Syarhul Mumti’ 7/478-480
dengan beberapa tambahan)
e.
Berdoa Sebelum Menyembelih
Lafadz
doa tersebut adalah:
بِسْمِ
اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
“Dengan
nama Allah dan Allah itu Maha Besar.” (H.R. Muslim)
بِسْمِ
اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ
“Dengan nama Allah dan Allah itu
Maha Besar, Ya Allah ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu.” (H.R. Abu Dawud dengan
sanad shahih)
Beberapa adab yang perlu diperhatikan:
1. Hendaknya yang
menyembelih adalah shohibul qurban sendiri, jika dia mampu. Jika tidak
maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul qurban disyariatkan
untuk ikut menyaksikan.
2. Gunakan pisau yang
setajam mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini berdasarkan hadis dari
Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ
الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ
وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ
فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah
mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah
dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya
kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
3. Tidak mengasah pisau
dihadapan hewan yang akan disembelih. Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan
sebelum disembelih. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ، وَأَنْ تُوَارَى
عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa
memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di
leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu
melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya
sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR.
Ath-Thabrani dengan sanad sahih).
4.
Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah: Hewan
yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan
disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk
mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.
5. Membaringkan
hewan di atas lambung sebelah kiri.
Imam An-Nawawi
mengatakan, terdapat beberapa
hadis tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.)
dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara
membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan
penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan
tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).
Penjelasan yang sama
juga disampaikan Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak
disembelih dibaringkan ke sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang
menyembelih. Karena penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan,
sehingga hewannya dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’,
7:442).
6. Menginjakkan kaki di
leher hewan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, beliau mengatakan,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berqurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki
beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah …. (HR. Bukhari
dan Muslim).
7. Bacaan ketika hendak
menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus
membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat.
Allah berfirman,
وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ
يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..
Janganlah
kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS.
Al-An’am: 121).
8. Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
9. Pada saat menyembelih
dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan diqurbankannya herwan tersebut. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu
‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih
beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini qurban atas namaku dan atas
nama orang yang tidak berqurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan
disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar,
dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza
minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul qurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul qurban atau
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul qurban).” [1]
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul qurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul qurban atau
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul qurban).” [1]
Catatan: Bacaan takbir dan menyebut nama
sohibul qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga qurban tetap sah meskipun
ketika menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul qurban.
10. Disembelih dengan
cepat untuk meringankan apa yang dialami hewan qurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
11. Pastikan bahwa bagian
tenggorokan, kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong.
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai
syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh
Sa’id Al-Qohthoni):
1. Terputusnya
tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik.
Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
2. Terputusnya
tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar,
halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang
pertama.
3. Terputusnya
tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya
sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat
dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Selama mengalirkan
darah dan telah disebut nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi
dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
12. Sebagian ulama
menganjurkan agar membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih cepat
meregang nyawa.
Imam An-Nawawi
mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri.
Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka
mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)
13.
Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan,
perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit
hewan qurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air
panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah
dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Dinyatakan dalam Fatawa
Syabakah Islamiyah, “Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika
menyembalih dengan sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya
untuk Fiqih Maliki, ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat
menyembelih, beliau mengatakan,
“Diantara yang
makruh adalah secara sengaja memutus kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah,
no. 93893).
Pendapat yang kuat
bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal. Imam Al-Mawardi –salah satu ulama
Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu
‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus
lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i
mengatakan,
“Jika ada orang
menyembelih, kemudian memutus kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah”
(Al-Hawi Al-Kabir,
15:224).
- HIKMAH QURBAN
Hikmah berqurban banyak sekali
diantaranya adalah :
1.
Sebagai perwujudan syukur atas ni'mat Allah SWT yang sangat banyak yang
telah diberikan kepada kita. Baik berupa ni'mat kita telah diciptakan segabai
manusia yang mulia, ni'mat usia yang panjang, ni'mat sehat wal afiyat dan
ni'mat harta kekayaan.
2.
Untuk mengahapus dosa - dosa dan kesalahan kita. Baik dosa berupa
pelanggaran atas perintah Allah SWT ataupun pengabaian terhaadap kewajiban
yang ditetapkan kepada kita. Allah SWT
berfirman: Artinya : Sesungguhnya perbuatan - perbuatan yang baik dapat
menghapus dosa dan kesalahan.
3.
Agar bisa dinikmati dagingnya oleh yang berqurban dan keluarga mereka serta
masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang merupakan wujud kepedulian
social mu'min yang mapan terhadap lingkungannya.
4.
Dalam rangka meneladani sunnah hasanah yang dicontohkan oleh Nabiyyulloh
Ibrohim segai wujud kecintaan kepada Allah SWT yang begitu tingggi sehingga
perintah Allah SWT untuk berqurban lehih didahulukan daripada memlihara atau
menyimpan harta kekayaan yang kita cintai.
5.
Untuk menjadi asset pahala yang besar yang akan memberatkan tinmbangan
hasanat kita saat ditimbangnya amal perbuatan manusia pada yaumul hisab nanti
REFERENSI
Ammi
Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Asy Syaikh Ali bin Hasan bin Ali
Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Judul: “Hukum Sekitar Menyembelih Hewan Qurban”
Asy
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari “15 (Lima Belas) Hal Yang Berkaitan
Penyembelih Hewan Qurban”
Asy Syekh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al Atsary;
“Ahkamul ‘Idain”
Asy Syekh Sayyid Sabiq; “Fiqh As Sunnah”
Buletin A-Ilmu Jember Judul: “Berqurban Menurut Sunnah Nabi”
Buletin Dakwah Al-Atsary, Edisi
Perdana/1426
No comments:
Post a Comment