PERANAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Materi PAI”
Yang
Diampu Oleh :
As-Sayyid
H. Abu Darda, M.Ag
Oleh :
Alex Nanang Agus Sifa
28.2.2.6830
Jurusan Aqidah
dan Filsafat
Fakultas
Ushuluddin
Institut Studi
Islam Darussalam Gontor
Ponorogo-Jawa
Timur
1430/2009
Pendahululan
Ruh pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami tanpa
pemahaman terhadap kedudukannya dalam keseluruhan bingkai konsep Islam itu
sendiri. Pendidikan merupakan cara yang digunakan Islam untuk menata kehidupan,
sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh Allah untuk memuliakan manusia.
Adanya dikotomi antara pendidikan agama (Islam) dan pendidikan umum yang belum
terjembantani sampai saat ini secara real mengantarkan posisi pendidikan agama
selalu menjadi pelengkap mata kuliah/pelajaran lainnya di lembaga pendidikan
umum. Upaya untuk menempatkannya ke dalam ranah analisis perlu segera
diwujudkan mengingat hal itu jarang dilakukan sebelumnya. Masuknya sistem
metodologi ala Barat juga harus mendapat perhatian khusus agar tidak
menghasilkan anak didik yang bersifat “sekuler” dan kehilangan
nilai-nilai etika Islam.
Pentingnya
Pendidikan Islam
Bagi seluruh umat manusia, pendidikan merupakan
persoalan penting dalam hidup dan kehidupan. Pendidikan selalu menjadi tumpuan
harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan
wahana, sarana, dan proses, serta alat untuk mentransfer warisan umat dari
nenek moyang kepada anak cucu dan dari orang tua kepada anak. Pendidikan tidak
berada dalam ruang hampa, artinya, pendidikan selalu berada dalam konteks.
Tetapi penerapan secara mentah-mentah sistem pendidikan yang diimpor seperti
layaknya peralatan, perlengkapan, sayurmayur, dan buah-buahan merupakan awal
kebinasaan umat. Sistem pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan generasi
muda yang tidak mempunyai jati diri dan kepribadian.[1]
Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait
dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mapu memikul taklif sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia diciptakan lengkap
dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar.[2]
Dalam tahap selanjutnya, Allah mengutus para rasul setelah Adam as. kepada umat
manusia untuk membimbing mereka dari kondisi yang serba tidak berperadaban
menjadi berperadaban melalui al-Kitab, al-Hikmah, dan pendidikan.[3]
Diletakkannya perintah membaca dalam ayat-ayat permulaan diturunkannya Al-Qur’an,[4]
membuktikan betapa peran membaca begitu urgen dalam upaya persiapan kekhalifahan manusia di muka bumi.
Dalam sunnah Rasulullah pun, selalu memberikan komitmen dan
perhatian besar terhadap pendidikan. Fakta
yang terbesar dapat dilihat dengan terangkatnya bangsa Arab kepada tingkat peradaban yang lebih tinggi serta memperkenalkan
sendi-sendi di bidang pendidikan yang saat itu masih
memprihatinkan. Situasi seperti itu dapat dilihat ketika tawanan perang Badar,
oleh Rasulullah diwajibkan untuk mengajarkan
cara menulis kepada anak-anak Madinah sebagai tebusan bagi pembebasan mereka. Tindakan Nabi ini diperkuat
dengan sabdanya: ‘Carilah ilmu sejak dari ayunan sampai
ke liang lahat’.
Pada sisi lain, persoalan pendidikan merupakan faktor penentu bagi
perkembangan umat. Ia menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan sebab sampai
saat ini masyarakat muslim sangat terbelakang di bidang pendidikan. Dengan
demikian salah satu target yang harus diusahakan semaksimal mungkin adalah
revitalisasi pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam melalui cara-cara yang
sesuai dengan nilai-nilai dan motif ajaran Islam sehingga tidak salah arah
dengan pelaksanaan pendidikan ala Barat. Untuk menyikapinya diperlukan
penyusunan sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai, prinsip-prinsip dan
tujuan-tujuan Islam.
Penurunan moral pada generasi muda, khususnya dalam konteks
generasi muda di perkotaan, menggambarkan bahwa sistem pendidikan sekuler tidak
mencapai tingkat yang memuaskan pada pembinaan moral generasi muda. Dari titik
ini pula pada tingkat pendidikan formal daerah perkotaaan merupakan basis ilmu
tempat anak didik mendapatkan pendidikan terutama pendidikan perguruan tinggi.
Sementara dalam kurikulum pendidikan umum yang diajarkan di sekolah-sekolah,
materi pendidikan lebih ditekankan pada penguasaan ilmu duniawi dengan tidak begitu
memperhatikan nilai pengajaran agama, kecuali sekolah yang berorientasi
keagamaan.[5]
Oleh sebab itu, sebagian orang tua, pendidik, dan anggota
masyarakat Indonesia banyak mengeluhkan dan mewaspadai bahwa muatan pendidikan
agama tidak begitu mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Meskipun
secara umum, tujuan pemerintah Indonesia adalah untuk menciptakan pembangunan
seimbang antara unsur material dan unsur spiritual, tetapi tampaknya pemerintah
lebih memberikan perhatian yang besar terhadap tujuan yang bersifat materiil. Implikasinya,
ada usaha-usaha untuk mengembalikan nilai-nilai tradisional terutama dalam mempertimbangkan
kembali peranan pendidikan tradisional Islam, yaitu pesantren, yang kaya dengan
pendidikan moral dan spiritual.[6]
Tidaklah heran bila Muslih Usa mengatakan bahwa adalah sangat aneh
ketika mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim, tetapi pendidikan Islam
tidak diberikan kesempatan untuk bersaing dalam pembangunan masyarakat yang
besar. Pemerintah Indonesia hanya member perhatian kecil terhadap pendidikan
Islam.[7]
Gambaran Umum
Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 15
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, mendeklarasikan
bahwa pendidikan formal termasuk pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan khusus, pendidikan magang, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik,
dan pendidikan profesi.[8] Pendidikan
Islam di Indonesia diberikan pada tiga sektor, yaitu nonformal, informal,
dan formal. Yang bersifat nonformal, biasanya diberikan di
mesjid-mesjid, surau, dan langgar.
Penekanan utama yang diberikan pada sektor ini adalah pendidikan
al-qur’an, tajwid dan ibadah seperti wudhu dan shalat. Pendidikan informal,
diberikan di rumah dengan menekankan kepada pengajaran individu, khususnya
dalam belajar al-qur’an sesuai dengan tingkatan pelajar. Sedangkan system pendidikan
formal diberikan di sekolah, madrasah, dan pesantren. Bagi
lembaga-lembaga organisasi Islam yang mengelola lembaga pendidikan Islam,
kecuali pesantren, mempergunakan kurikulum pemerintah dalam lembaga pendidikan
mereka.
Dengan memberi penekanan sedikit pada pengajaran agama Islam. Jadi,
dapat dikatakan bahwa madrasah dikategorikan ke dalam dua bentuk kurikulum, yaitu:
madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu keislaman dan madrasah yang menyediakan
keduanya, baik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman.[9] Dalam
tataran pendidikan tinggi, selain dari lembagai pendidikan swasta, pendidikan
Islam diberikan pada di Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) dan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).[10]
Selama ini kedua lembaga Islam tersebut merumuskan jati dirinya sebagai lembaga
yang memelihara dan mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber utama pedoman hidup di muka bumi ini.
Fungsi dan
Kendala
Telah menjadi rahasia umum, bahwa pendidikan Islam berada pada tataran
keterpurukan meskipun kemajuan di bidang pendidikan sangat pesat. Atas nama
modernisasi, sistem pendidikan Barat telah banyak diserap dan dipakai di
lembaga formal pendidikan di Negara Islam, tak terkecuali di Indonesia, tanpa
memperhatikan kabajikan orisinilnya. Dengan karakter dan ciri khasnya, pendidikan
ala Barat mengembangkan fungsinya sebagai laboratorium tempat generasi muda
Islam terbumbui dan terbagi-bagi, serta terbentuk kesadarnnya menjadi karikatur
Barat.12 Pendidikan Islam, pada prinsipnya hadir untuk menciptakan pengembangan
diri manusia. Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat
bagi sekalian alam13, maka pendidikan Islam mengidentifikasikan sasaran yang
digali dari sumber ajaran al-Qur’an, meliputi empat pengembangan fungsi
manusia. Pertama, menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan
fungsinya ditengah makhluk lain, serta tanggung jawab dalam kehidupannya.[11] Kedua,
menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat serta tanggung
jawabnya terhadap ketertiban masyarakat. Oleh karena itu manusia harus
mengadakan interrelasi dan interaksi dengan sesamanya.[12] Ketiga,
menyadarkan manusia terhadap Pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah
kepada-Nya.[13]
Keempat, menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain
dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain serta
memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.[14]
Dengan demikian hal yang diharapkan dalam pemberian pendidikan
Islam, yaitu pendidikan yang dilandasi nilai-nilai Islam akan menuntun umat
Islam menuju ketakwaan secara total kepada Allah, dengan jalan
mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan manusia. Karena
Islam menggolongkan pendidikan sebagai tugas suci maupun penyerahan diri
terhadap Allah (ibadah), maka dengan keteguhan hati diharapkan mampu memotivasi
umat untuk mengaktualisasikan imannya kepada Allah dalam situasi dan kondisi
apapun, bukan perkembangan yang didominasi Barat. Keteguhan hati yang didasarkan
pada kecintaan terhadap Islam yang membawa semangat belajar ke dalam hati
setiap umat.
Jadi dalam hal ini visi pendidikan Islam tidak diarahkan oleh
pragmatisme, namun oleh keteguhan hati dan cinta terhadap Allah. Oleh karena
itu, pendidikan Islam harus membekali dan menyebarkan ilmu pengetahuan yang
benar-benar islami, relevan dengan sumber mutlaknya, Allah.[15] Hal
lain adalah pemberian pendidikan Islam merupakan aktivitas intelektual
sekaligus sebagai sarana terwujudnya formulasi Islamisasi pengetahuan. Untuk
itu dalam tingkat pendidikan formal, pendidikan Islam harus diaplikasikan di
tingkat akademik, yang mengkhususkan diri pada studi Islam untuk melahirkan
sarjana di bidang studi Islam, baik sebagai intelektual maupun sebagai mufti.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk menerapkan pendidikan
umat di mana semua mata pelajaran diberikan secara mendasar sejak sekolah dasar
sampai ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.[16] Perlu
diketahui bahwa pendidikan Islam sangat berhubungan erat dengan agama Islam itu
sendiri, lengkap dengan akidah, syariat, dan sistem kehidupannya. Keduanya
ibarat dua kendaraan yang berjalan di atas dua jalur seimbang, baik dari segi
tujuan maupun rambu-rambunya yang disyariatkan bagi hamba Allah yang membekali
diri dengan takwa, ilmu, hidyah, serta akhlak untuk menmpuh perjalanan hidup.
Hubungan antara pendidikan Islam dan agama Islam dapat digambarkan
dalam pokok-pokok sebagai berikut:[17]
a)
Agama Islam menyerukan manusia agar beriman dan bertakwa.[18]
Pendidikan Islam berupaya menanamkan ketakwaan itu dan mengembangkannya agar
bertambah terus sejalan dengan pertambahan ilmu.
b)
Agama Islam menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan menyeru
manusia agar berpikir tentang kerajaan Allah.[19] Sementara
dalam pendidikan Islam, dibangun di atas ilmu dan pengetahuan guna
mengembangkan manusia, baik pengetahauan, ketermapilan, maupun arah tujuannya.
c)
Agama Islam menekankan amal saleh dan menetapkan bahwa iman selalu
diwujudkan dengan amal saleh tersebut.[20]
Sedangkan dalam pendidikan Islam menekankan pentingnya belajar dengan jalan
berbuat (learning by doing), tidak sekedar menghafal teori yang tidak
membimbing ke arah perbuatan yang bermanfaat dalam berbagai sisi kehidupan.
d)
Agama Islam menekankan pentingnya akhlak.[21]
Di sisi lain, pendidikan Islam pun menekankan pendidikan akhlak dengan
memperhatikan perubahan tingkah laku ke arah yang terbaik.
Begitu indahnya hubungan antara agama dan pendidikan Islam seperti
di atas sayang tidak dibarengi dengan kehidupan atau proses kerja keilmuan di
lembaga-lembaga formal, terutama di perguruan-perguruan tinggi Islam. Qodri
Azizy mencontohkan bahwa ilmu-ilmu umum seperti ilmu hukum, sosiologi,
antropologi, filsafat, dan lainnya, yang diajarkan di lembaga pendidikan tersebut
secara dominan diajarkan secara terpisah dari ilmu keislaman. Akibatnya, tidak
ada persentuhan dengan intisari (gist atau khiththah) ilmu-ilmu
keislaman yang menjadi core dalam pendidikan di lembaga pendidikan
tersebut.
Dan lebih menyayangkan lagi, menurutnya, ilmu-ilmu keislaman tersebut
hanya dijadikan sebagai “pengantar” atau sekadar pengertian definisi yang jauh
dari ranah analisis. Memahami definisi dianggap cukup tanpa perlu menganalisa
mengapa sampai terjadi perbedaan definisi demikian.[22]
Oleh karena itu, Liek Wilardjo menyarankan dengan sungguhsungguh agar para
intelektual Islam sebaiknya tidak bersikukuh “memaksakan” penyatuan antara ilmu
dan agama.[23]
Menurut Qodri Azizy, selama ini telah terjadi anggapan negatif
terhadap pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di lembaga pendidikan. Anggapan
yang kurang menyenangkan itu antara lain: a) Islam diajarkan lebih pada hafalan
yang harus dipraktekkan; b) pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan
formalitas antara hamba dan Tuhannya; c) penghayatan nilai-nilai agama kurang
mendapat penekanan; d) penalaran dan argumentasi berpikir untuk masalah-masalah
keagmaan kurang mendapatkan perhatian; e) dan lain-lain. Implikasi dari itu
semua penanaman kepribadian kurang berhasil, kalau tidak dikatakan gagal. Tetapi
yang hampir dapat dipastikan bahwa salah satu sebab utama hancurnya sistem
pendidikan nasional adalah dominannya peran “pusat” (sentralisasi) dalam
pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.[24]
Menyikapi hal seperti di atas, maka ada beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian, yaitu:
1.
Pendidikan agama hendaknya mampu mengajarkan akidah anak didik
sebagai landasan keberagamaannya.
2.
Pendidikan agama mengajarkan kepada anak didik pengetahuan tentang
ajaran agama Islam.
3.
Pendidikan agama harus mampu mengajarkan agama sebagai landasan
atau dasar bagi semua mata pelajaran yang diajarkan di lembaga formal.
4.
Pendidikan agama yang diberikan kepada anak didik harus menjadi
landasan moral kehidupan sehari-hari.
5.
Jam pendidikan agama di lembaga pendidikan formal, seharusnya
dijadikan waktu tatap muka formal dalam menyampaikan ajaran agama atau diskusi
masalah keagamaan. Sementara dari segi praktekna harus lebih dari sekedar jam
pelejaran tersebut.[25]
Sedangkan, dalam konteks menyongsong era global dan dengan
“diterimanya” system pendidikan yang bersifat ala Barat, maka ada tiga aspek
problematis pendidikan modern yang sangat substansial dan mendesak segera
di”Islam”kan.
1.
Aspek filosofis, yakni visi atau pandangan dunia yang jelas-jelas
mempengaruhi hakekat dan tujuan pendidikan. Karena pendidikan dewasa ini
cenderung membawa mentalitas palsu ke dalam umat Islam sementara pengelola
pendidikan dilanda kehilangan visi. Akibatnya, bias dilihat bila generasi muda
yang terdidik boleh jadi tidak dapat berperilaku sesuai dengan norma masyarakat
Islam yang diharapkan maupun dengan aspek kemanusiaan yang lazim dalam pengelolaan
pendidikan.
2.
Aspek keutamaan ilmu pengetahuan, di mana di satu sisi, perlunya
menyelematkan pendidikan Islam dari ilmu pengetahuan Barat, modern dengan
segala kekurangan integralitas spiritualitas di dalamnya, yang dalam pengertian
totalnya hanya merupakan sebuah produk pertimbangan akal kemanusiaan sekuler.
Sementara di sisi lain, pentingnya mengevaluasi ulang ilmu pengetahuan tradisional
dan agama, yang menolak sama sekali isu-isu ilmiah dan kontemporer. Sejauh ini,
kecenderungan-kecenderungan tersebut melahirkan dualisme dalam sistem
pendidikan di negaranegara Islam, yang pada gilirannya telah menghasilkan
pribadi-pribadi Muslim yang hipokrit.
3.
Aspek metodologi yang tidak memiliki kreativitas dalam
menyelenggarakan proses belajar mengajar. Dengan mengikuti metodologi Barat
(modern) hampir semua kasus proses belajar mengajarnya sangat minim aspek
etikanya.[26]
Penutup
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya bagi
umat Islam adalah suatu jawaban yang tepat. Dan, jalur pendidikan (khususnya
pendidikan Islam) merupakan salah satu jalur pembinaan yang potensial dan
mutlak diperlukan sebab sebagaimana dimaklumi bahwa pendidikan merupakan unsur
utama dalam pembinaan SDM. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah bahwa
sarjana-sarjana Muslim harus mengarahkan energi reformatifnya terhadap ilmu
ekonomi dan politik. Bentuk-bentuk yang seharusnya diperhatikan barangkali
meliputi seminar, konferensi, pengembangan kurikulum, pusat studi dan penelitian
serta pembentukan jurusan-jurusan khusus.
Oleh sebab itu, untuk mengembangkan pribadi (nafs),
pendidikan harus membekali peserta didiknya dengan pelajaran-pelajaran agama,
etika, hukum, sejarah, dan peradaban Islam. Pengajaran seperti itu diharapkan
mampu menanamkan benih iman dalam hati atau diri peserta didik. Pendidikan bukan
semata-mata tugas guru dan sekolah, orang tua dan umat secara keseluruhan tidak
boleh lari dari tanggung jawab untuk melatih mereka dalam semua aspek ajaran
Islam sampai mendapat kematangan diri. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa
pendidikan Islam bersifat ke-Tuhan-an (rabbani) sebab selalu mengacu
kepada Allah. Sifat yang demikian membuat pendidikan Islam benar-benar berbeda dari
pendidikan lainnya. Baik dari segi tujuan, watak, isi, karakteristik, maupun
pengaruh praktisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an
al-Karim
Amin,
Kamaruddin, dkk, Quo Vadis Islmic Studies in Indonesia: Current Trends and
Future Challenges (Makassar: PPS UIN Makassar, 2006 cet.1)
Aly, Hery Noer
dan Munszier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang (Jakarta:. CV.
Triasco. 2003, Cet. I)
Azizy, Qodri, Pendidikan
(Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai
dan Bermanfaat (Cet. 1). Semarang: Aneka Ilmu. 2002
__________, Pengembangan
Ilmu-Ilmu Keislaman (Semarang: Aneka Ilmu, 2004, Cet. 2).
Truna, Dody S.
dan Ismatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum,
dan Pendidikan (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002, Cet. I)
Undang-undang
RI Nomor 20 tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 1993
Usa, Muslih,
ed., Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991)
Wasim, Alef
Theria, dkk (ed), Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan,
(Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005)
RINGKASAN
MATERI KULIAH “MATERI PAI”
Yang
diampu oleh: As-Sayyid Abu Darda, M.Ag
A. Mengapa Materi
PAI Itu Penting?
Materi PAI itu penting dikarenakan komponen pendidikan agama islam
sangat berkaitan erat dengan objek pembelajaran PAI. Objek pembelajaran PAI
mencakup empat aspek, secara garis besar dapat dilihat melauli bagan berikut:
Gambar1.
Pembelajaran PAI
Dalam pembelajaran PAI terdapat empat aspek tersebut di atas yang
sangat menentukan visi dan misi materi PAI itu sendiri.
B.
Pengertian dari PAI
1.
Pendidikan Secara Sosiologis
Adalah pranata atau lembaga social dalam komunitas muslim untuk
mentransformasikan nilai-nilai agama islam dalam rangka mengembangkan Sumber
Daya Manusia (SDM) muslim demi terciptanya masyarakat madani (tamaddun).
2.
Yang dimaksud masyarakat madani (tamaddun) di sini adalah system
kehidupan, baik dalam aspek social, budaya, politik dan sebagainya. Masyarakat
madani yang dimaksud adalah sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al
Imran ayat 110:
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya: Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Q.S Al Imran ayat 110)
Jadi masayarakat madani (tamaddun) adalah sebuah masyarakat yang
system-sistemya mencerminkan aklahkul karimah dengan tujuan amar ma’ruf nahi
munkar.
Secara garis besar bias disimpulkan bahwa materi PAI adalah semua
objek pembelajaran untuk mencapai tujuan islam, baik tujuan yang bersifat
individual (membentuk Sumber Daya Manusia Muslim) maupun tujuan yang bersifat
sosial (membentuk masyarakat madani.
Gambar 2. Tujuan Pendidikan Islam
Gambar 3. Bangunan Islam
Dua aspek
penting sebagai landasan dalam materi PAI yaitu pandangan hidup (worldview)
dan kerangka berpikir (framework) yang digunakan. Kedua aspek tersebut
sangat penting dan merupakan landasan utama dalam materi PAI. Jika materi PAI
tidak berlandaskan pada pandangan hidup (worldview) dan kerangka berpikir
(framework) yang jelas, maka yang terjadi adalah munculnya
penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan asas-asas Islam.
Yang dimaksud
dengan pandangan hidup (worldview) dan kerangka berpikir (framework) yang jelas
di sini adalah pandangan hidup dan kerangka berpikir yang berlandaskan pada
Al-Qur’an dan As-Sunah. Karena keduanya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunah merupakan
wahyu Allah yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Oleh karenanya, jika
landasan yang dipakai adalah Al-Qur’an dan As-Sunah yang mengajarkan tauhid,
maka tidak ada yang namanya paham-paham menyimpang yang memisahkan (dichotomi)
antara dunia dan akhirat, agama dan negara seperti halnya sekularisme.[27]*
[1] Hery
Noer Aly dan Munszier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang,
cet.I, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), hal. 4-5
[3] QS. al-Baqarah: 129
[4] QS.
al-‘Alaq: 1-5
[5]
Suprayetno, “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren sebagai Kebutuhan
Masyarakat”, dalam Dody S. Truna dan Ismatu Ropi, Pranata Islam di
Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan, cet.I,
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 273
[6] Ibid,
273-274
[7]
7Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta:
Tiara
Wacana, 1991), hal. 11
[8] Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 6
[9]
Suprayetno, “Modernisasi Sistem…, hal. 281
[10]
Ibid. hal. 281
[11]
Affandi Mochtar, “Pendidikan Islam: Makna, Problem, dan Solusi”, dalam Aler
Fheria
Wasim, dkk (ed), Harmoni Kehidupan Beragama:
Problem, Praktik dan Pendidikan, (Oasis
Publisher: Yogyakarta, 2005), hal. 234
[12] QS.
al-Anbiyaa: 107
[13] QS.
al-Baqarah: 30, QS. Shaad: 71-72, QS. al-Isra’: 70
[14] QS.
al-‘Imran: 103, QS. al-Hujurat: 10
[15] Affandi Mochtar,
“Pendidikan Islam…, hal. 235
[16]
Ibid., hal. 237.
[17] Hery
Noer Aly dan Munszier Suparta, Pendidikan Islam…, hal. 138-140
[18] QS. al-Tagabun: 16;,
QS. al-Baqarah: 282
[19] QS. al-Imran: 190;
QS. al-Baqarah: 111
[20] QS. al-Ra’d: 29; QS.
al-Shaff: 2-3
[21] QS. al-Qalam: 4
[22]
Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, cet.2, (Semarang: Aneka
Ilmu, 2004), hal. 44-45
[23] Eka
Putra Wirman, “Konversi IAIN menjadi UIN: Tuntutan Pragmatis atau
Epistemologis?”, dalam Kamaruddin Amin, dkk, Quo Vadis Islmicc Studies ini
Indonesia: (Current Trends and Future Challenges), cet.1, (PPS UIN
Makassar: Makassar, 2006), hal. 359
[24]
Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak
Sukse Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, cet. 1, (Semarang: Aneka Ilmu,
2002), hal. 62
[25] Ibid., hal. 73-79
[26]
Affandi Mochtar, “Pendidikan Islam…, hal. 235-236
*Istilah
Secular berawal dari pertengahan abad ke 19, istilah tersebut telah digunakan
di dunia Barat yang merujuk pada kebijakan khusus terhadap adanya pemisahan
Gereja dari Negara. Kata tersebut diambil dari
bahasa Latin Saeculum Yang memiliki dua konotasi yaitu Time (Masa)
dan Location (tempat). Waktu
menunjukkan Now atau Present (Sekarang) sedangkan Location (tempat)
dinisbatkan kepada World (dunia). Dalam kamus The New International
Webster's Compeherensive Dictionary of
the English Languange, mengartikan Secularism : terkait dengan
keduniaan dan menolak nilai-nilai spiritual Sedangkan Secularize : proses
penduniaan, proses untuk menuju sekuler: perpindahan dari kesakralan menuju
kesekuleran.
Pengertian
"Secular" diterjemahkan kedalam bahasa Arab (oleh orang Barat Kristen)
menjadi 'almany, yang memiliki arti laysa min arbab al-fann aw
a-lhirfah dan kata-kata "Secularity" diterjemahkan menjadi al-ihtimam
bi umur al-dunya, atau al-ihtimam bi al-'alamiyat, sedangkan
"Secularize" diterjemahkan menjadi hawwal ila gharad 'alamy
ay dunyawiy. Dan pengertian ini diikuti oleh sebagian besar kalangan
ummat Islam.
Sekularisme adalah ideologi yang muncul dari proses
Sekularisasi. Yang menjadi perdebatan para ahli sejarah adalah bagaimana proses
munculnya Sekular, Sekularisasi sampai ke Sekularisme. Eropa Barat
telah mengalami sekularisai sejak 250 tahun terakhir, dan para ahli sejarah
sepakat dengan pendapat tersebut. Safar ibn Abdurrahman Al-Khuwaily mengatakan
bahwa Sekularisme di Barat muncul akibat dominasi Gereja Terhadap kehidupan
masyarakat dalam segala aspek. Dan kehidupan masyarakat diatur oleh Gereja,
atas nama Gereja mereka memaksa masyarakat untuk mematuhi segala peraturannya
dan dilarang untuk menentang kekuasaan Gereja. Bahkan para gerejawan
menghalalkan pertumpahan darah untuk melaksanakan keinginannya.
No comments:
Post a Comment