Oleh: Alex Nanang Agus Sifa
(Mahasiswa Semester VII Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah Filsafat Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo)[1]
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa Indonesia merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Di samping itu, Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Namun faktanya, pengangguran dan kemiskinan menjadi fenomena yang tidak dapat terhindarkan di negeri ini. Ditambah lagi berbagai macam bencana yang disebabkan oleh ulah perbuatan penduduknya sendiri, seperti halnya banjir, longsor, kecelakaan lalu lintas dan masih banyak yang lainnya. Sepertinya alam di negeri ini marah terhadap penghuninya. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang salah dari semua ini? Bagaimana seharusnya tindakan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini dalam rangka mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah. Untuk itu tulisan ini akan mencoba menganalisa permasalahan tersebut di atas sehingga dapat ditemukan sebuah solusi.
SDA Dan SDM Indonesia
Jika dilihat dari sumber daya alam (SDA), sebagaimana menurut catatan Waspada bulan September tahun 2005, Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Hal ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Begitu juga dari kekayaan hutan, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar dolar. Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Tidak hanya itu, kekayaan Indonesia dari segi kelautan juga tidak ternilai jumlahnya.
Sedangkan dari sumber daya manusia (SDM), Indonesia juga memiliki banyak penduduk berprestasi dunia, yang kecerdasannya bisa dikatakan jarang dimiliki oleh penduduk di Negara lain. Kita mengetahui misalnya bapak teknologi Indonesia, B.J. Habibie. Dia merupakan Vice President sekaligus Direktur Teknologi di Messerschmitt Bolkow Blohm (MBB) Hamburg Jerman periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978). Berbagai macam penghargaan telah diraih olehnya. Kita juga mengetahui Nelson Tansu, seorang remaja yang menjadi professor termuda di Amerika Serikat. Dia diangkat menjadi guru besar (professor) di Lehigh University Bethlehem ketika usianya baru menginjak 25 tahun. Dia berhasil menggenggam 3 hak paten di bidang semi conductor nonstructure, Eptoelectronics Decices dan high power semiconductors lasers. Kedua orang ini tentunya sudah dapat dijadikan sebagai contoh betapa luar biasanya sumber daya manusia Indonesia.
Kekayaan SDA dan SDM yang dimiliki Indonesia tersebut memang sudah tidak diragukan lagi. Namun sayangnya, hal ini tidak menjadikan Indonesia menjadi Negara maju. Indonesia masih dalam posisi terpuruk. Kehancuran ekosistem dan tatanan alam seolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negeri ini.
Fakta Nyata Indonesia
Kerusakan alam yang terjadi di negeri ini semakin menjadi-jadi dari tahun ke tahun. Salah satu sebabnya tidak lain adalah monopoli dan ekspolitasi sumber daya alam yang tidak beraturan. Hal ini sebagaimana yang telah diungkap oleh Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, saat membuka seminar pra rapat kerja nasional (rakernas) Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang bertajuk “Penguatan Manajemen Kelembagaan Bencana dan Perubahan Iklim di Indonesia” di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (30-7-2010).
Berbagai macam bencana melanda negeri ini, kebakaran hutan Kalimantan ataupun banjir di Jakarta yang tidak lain disebabkan gundulnya kawasan penyangganya. Seluruh jalan di kota-kota macet, terlebih daerah ibukota, karena panjang jalan yang tersedia baru 12.5% dari kebutuhan, penggal jalan yang padat terasa pengap oleh asap tebal yang beracun. Gambar buram itu tidak berhenti disitu saja. Penyakitpun datang silih berganti, dan kali ini penyakit mematikan seperti HIV, SAR, demam berdarah, dan flu burung berjangkit dimana-mana. Terlebih lagi air sungai yang sangat kotor karena pembuangan sampah padat. Sungai Ciliwung, misalnya, setiap hari menampung 1,400 M3 sampah. Hal ini berarti bahwa kurang lebih 200-400 truk membuang sampah padat ke sungai tersebut setiap harinya. Pelayanan air minum juga sangat rendah. Di Negara yang kaya akan sumber daya alam ini, ternyata baru sekitar 40 persen penduduk mendapat pelayanan air bersih, dan dari total volume air yang disalurkan, hanya 20 persen yang layak digunakan karena umumnya air yang sampai kerumah masih berlumpur.
Hal ini juga diperburuk oleh kondisi pemerintahan di Indonesia karena aparat yang terlihat kurang memegang amanah. Salah satu contoh kebohongan pemerintah tersebut adalah kasus kebakaran hutan. Soentoro (1997) melaporkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 telah menghanguskan 1 juta hektar hutan, namun kenyataannya pemerintah hanya melaporkan 300,000 hektar saja.
Dalam berbagai kasus, memang ilmu pengetahuan dan penegakan hukum sudah bekerja ekstra keras dalam menanggulangi bahaya kerusakan alam tersebut. Namun hal itu ternyata tidaklah cukup untuk menanggulangi persoalan lingkungan dan kerusakan ekosistem. Buktinya, persoalan lingkungan semakin bertambah kompleks sejalan dengan beratnya persoalan hidup yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia: pertambahan penduduk, terbatasnya lowongan kerja, bertambah sempitnya lahan sehingga tidak mudah untuk mengusahakan serta mengupayakan usaha yang mampu menghasilkan untuk bertahan hidup.
Untuk itu, sebagai negara yang agamis, jika kita amati, maka akan ditemukan ada dua pandangan utama yang berkembang pada masyarakat Indonesia dalam melihat berbagai bencana yang sering terjadi. Pertama, kelompok yang memandangnya sebagai akibat dari perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap aturan Tuhan yang semakin tidak terkendali. Menurut kelompok pertama ini, adanya bencana dipandang sebagai azab dan murka Tuhan. Dan yang kedua, kalangan yang melihatnya murni sebagai fenomena alam dan tidak ada hubungan dengan urusan agama.
Kedua pandangan tersebut di atas kiranya harus dijembatani. Mengabaikan cara pandang agama dalam melihat kerusakan alam sudah tidak relevan sebagaimana juga tidak tepatnya membuang analisis ilmiah atas berbagai penyebab terjadinya berbagai kerusakan alam tersebut. Agama sendiri belakangan dipandang sebagai salah satu pendekatan yang cukup mampu dalam upaya membangun kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan alam di negeri ini.
Muslim Sebagai Khalifah Fil ‘Ardh
Islam sebagai agama sangat memerhatikan manusia untuk menjaga dan memelihara bumi tempat tinggalnya. Komponen-komponen di bumi dan lingkungan juga banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam Q.S. 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia Q.S. 45:13; juga hadits nabi “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput gembalaan, dan api. Harga (menjual-belikannya) adalah haram” (HR. Ibn Majah). Dan juga hadits tentang pengelolaan lahan tidur (ihya mawat) yang berbunyi “Barang siapa yang mengelola lahan tidur, maka tanah tersebut menjadi miliknya” (HR Ahmad dan Tirmizi). Dengan demikian, manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai pusatnya alam), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban. Konsep khalifah sebagaimana disebut dalam Q.S. 2:30 bermakna pertanggungjawaban (responsibility). Makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi hanya akan berlaku jika manusia mampu melestarikan bumi sehingga seluruh ibadah dan amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan. Hal ini sangat logis, karena suatu ibadah atau pengabdian kepada Allah dan manusia tidak dapat dilakukan jika lingkungan telah terjadi kerusakan.
Prinsip Islam tersebut di atas juga sesuai dengan semangat yang tertera dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 bahwa kekayaan bumi, laut dan udara dikelola oleh pemerintah sepenuhnya demi kemaslahatan rakyat. Eksploitasi dan monopoli sumber daya alam sangat merugikan penduduk. Jika hal ini dibiarkan, dampaknya pun tidak lagi berbentuk fisik, tapi juga murka Allah. Apabila monopoli tidak dihentikan, cepat atau lambat pasti adzab Allah diturunkan kepada penduduk negeri ini.
Untuk itu, langkah awal dalam upaya membangun kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan adalah kesadaran akan memahami bahwa seorang muslim memiliki peran di kehidupan ini sebagai khalifah fil ‘ardh (wakil Allah di muka bumi). Dengan memahami dan sadar bahwa dirinya adalah sebagai khalifah, maka akan berimplikasi pada kesadaran bahwa alam ini merupakan amanat Allah yang harus dijaga dan dipelihara.
[1] Paper ini ditulis dalam rangka mengikuti PIN (Pekan Ilmiah Nasional) Temu BEM Ushuluddin di UIN Jogjakarta dengan tema “Islam dan Perubahan Iklim” bulan Desember 2010
No comments:
Post a Comment