Oleh: Alex Nanang Agus Sifa, S.Fil.I
Peradaban
Barat yang didominasi oleh budaya nasrani menjadikan kita, umat islam, semakin
jauh dari nilai dan semangat (ghirah) islami. Hal ini terbukti dengan
tidak sedikitnya kaum muslimin yang tidak mengetahui tentang identitas
keislamannya. Budaya serta tradisi ala Barat terasa lebih kental dan menjiwai
umat. Perhatian umat terhadap tradisi yang ada dalam Islam pun sudah mulai terlihat
luntur. Salah satu contoh konkritnya adalah banyaknya kaum muslimin yang lebih
mengenal kalender masehi (miladiyah) dibanding kalender milik kaum
muslim itu sendiri, kalender hijriah. Untuk itu, di sini penulis akan sedikit
membahas sejarah dan substansi kalender hijriah dengan harapan dapat dijadikan
sebagai syiar Islam dan menghidupkan kembali tradisinya.
Pada masa
Nabi Muhammad SAW, belum dikenal nama tahun Hijriah, begitu juga pada masa khalifah pertama Abu Bakar Sidiq, yang memerintah
selama dua tahun setelah Nabi wafat. Tahun Hijriah pertama kali diperkenalkan
oleh Khalifah kedua Umar bin Khatab yang
menggantikan Abu Bakar. Pada masa
pemerintahan Umar ini banyak kaum Muslimin yang mencari penanggalan
Islam yang mana pada masa Nabi, masyarakat masih menggunakan hitungan tahun
Gajah.
Untuk
mengenang peristiwa besar tersebut, Umar bin Khattab mencetuskan peristiwa
hijrah Nabi SAW sebagai awal tanggal dimulainya penanggalan Islam yang kemudian
dikenal dengan kalender Hijriah. Hal itu dicetuskan Umar pada tahun 638, atau
17 tahun setelah peristiwa hijrah berlangsung.
Penyebabnya ialah surat Abu Musa Al-Asyari yang
ditujukkan kepada khalifah Umar bin Khottob. Dalam surat tersebut, Abu Musa
Al-Asyari menulis: "Surat-surat kita sudah memiliki tanggal dan bulan,
tetapi tidak berangka tahun. Menurut saya sekarang sudah saatnya umat Islam
membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun".
Khalifah Umar bin Khottob kemudian menyetujui
usulan tersebut dan langsung membentuk panitia yang diketuai langsung oleh
beliau dengan enam anggota sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Tholib, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqas, Tholhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan tahun
pertama dari kalender yang selama ini telah digunakan. Ada yang mengusulkan
agar dimulai dari tahun kelahiran Nabi (maulid an-nabi) dan ada yang
mengusulkan dimulai dari tahun turunnya wahyu yang pertama (awwalu nuzuli al
wahyi).
Semua usulan-usulan yang masuk, baik
kelahiran Nabi maupun permulaan turun wahyu tidak diambil sebagai awal tahun
Islam karena masih terjadi kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian
sebenarnya. Usulan hari wafatnya Rasulullah juga tidak dijadikan permulaan
kalender karena dipertautkan dengan kenangan-kenangan menyedihkan pada hari
wafat beliau yang berkemungkinan akan menjadikan kesedihan bagi kaum muslimin.
Yang disetujui adalah usulan sahabat Ali RA, yaitu dimulai dari tahun hijrah Nabi
ke Madinah. Menurut Umar, hijrah dipilihnya karena hijrah adalah momen yang
penting, dimana saat itu antara kebenaran (al haq) dan kebathilan (al
bathil) dapat dipisahkan.
Ketika para
sahabat sepakat menjadikan tahun peristiwa hijrah nabi sebagai tahun pertama
kalender Islam, timbul permasalahan tentang awal bulan kalender. Ada yang
mengusulkan Rabiul Awal, ada pula yang mengusulkan Muharram. Kemudian khalifah
Umar berpendapat awal bulan hendaknya dimulai dari bulan Muharram, sebab pada
bulan ini umat Islam baru pulang dari melaksanakan ibadah Haji, yang merupakan
kesempurnaan dari rukun Islam (kaana al hajju tamama arkani al islam),
di samping itu haji juga merupakan kewajiban terakhir dalam rukun Islam (akhiru
ma faradha min al arkan al khomsah).
Pengertiannya secara umum, kalender Hijriah adalah
kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau
bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender Hijriah
juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender ini menggunakan
peredaran bulan (qomar) sebagai acuannya, berbeda dengan kalender Masehi
yang menggunakan peredaran matahari. Kalender Islam ini dinamakan klender Hijriah,
karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M.
Dalam Islam, hijrah adalah sebagai suatu
peristiwa besar, dimana suatu pergerakan besar dan kehidupan yang lebih beradab
dimulai, peristiwa
pindahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah atas perintah Allah SWT. Terlihatlah suatu komitmen kuat untuk
menciptakan suatu kehidupan yang bernilai, mempunyai kemuliaan diri (izzatu-n-nafsi),
meninggalkan hukum jahiliyah menuju hukum Allah. Dimulai dengan niat ikhlas Lillah, untuk memperbaiki diri, untuk perbaikan orang lain dan lingkungan dan dilakukan
secara nyata dalam hidupnya, hijrah lahiriah dan batiniah.
Bahkan, Dr. Muhamammad Husein Haikal dalam kitabnya “Hayatu
Muhammad” melukiskan kisah hijrah ini sebagai kisah yang paling cemerlang
dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh
bahaya, demi kebenaran keyakinan dan keimanan. Begitu juga Prof. Dr. Akram Dhiyauddin
Umari dalam bukunya “Madinan Society At The Time Of the Prophet: Its
Characteristic & Organization” menceritakan bahwa dari peristiwa hijrah
yang dilakukan Rasulullah SAW tersebut menjadikan penduduk Madinah bersatu.
Berbagai macam suku di Madinah, seperti suku Aus, Khazraj, Muhajirin Quraisy
dan suku arab lainnya dipersatukan di atas fondasi iman dan aqidah yang kokoh.
Dalam
tradisi Islam, peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa
yang sangat monumental. Peristiwa hijrah memiliki makna yang sangat tinggi, oleh
karenanya khalifah Umar ibnu Khottob memilih dan menetapkan peristiwa hijrah
sebagai awal penanggalan kalender Islam. Bukan dari kelahiran Nabi dan bukan
dari awal turunnya wahyu. Tentu penetapan ini memiliki pertimbangan tersendiri.
Khalifah Umar meletakkan proses hijrah sebagai hal yang sangat penting. Karena
dengan hijrah seluruh mahluk Allah akan mengalami suatu dinamika dan perubahan,
tidak monoton dan tidak statis. Disengaja atau tidak, direncanakan atau tidak,
semuanya mengalami apa yang disebut sebagai proses hijrah, semuanya
tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri yang tidak berubah.
Proses
perubahan akan tetap dan terus berjalan sepanjang waktu. Seluruh kemajuan
peradaban manusia yang terus menerus berlangsung selama ini merupakan suatu rangkaian
dari proses hijrah. Untuk itu Islam meletakkan proses hijrah sebagai simbol,
bahwa hijrah itu harus diartikan sebagai momentum untuk menuju ke kehidupan
yang lebih baik, lebih maju, lebih mulia dan lebih bermakna serta berada pada
lingkungan rahmat dan keridhaan Allah SWT. Tanpa adanya usaha untuk berhijrah,
mustahil kejayaan akan tercapai dan kemajuan umat akan berhasil. Tuntutan penghayatan
hijrah berarti juga dengan adanya perubahan dalam diri, baik dari segi jiwa,
mental dan fisik ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam.
(Artikel ini dimuat di Majalah Lampu, Lazis MAFAZA Peduli Umat Purwokerto)
(Artikel ini dimuat di Majalah Lampu, Lazis MAFAZA Peduli Umat Purwokerto)
No comments:
Post a Comment