Saturday, 30 September 2017

MERESAPI MAKNA MAN JADDA WAJADA


Bersungguh-sungguh merupakan faktor penting untuk meraih sebuah keberhasilan dan kesukesan. Tidak ada kata berhasil dan sukses kecuali bagi mereka yang bersungguh sungguh. Dan nilai keberhasilan serta kesukesan seseorang sangat berbanding lurus dengan seberapa besar kesungguhannya. Man Jadda wajada, begitulah sebuah makhfudzat Arab mengatakan.

Makhfudzat yang terdiri dari tiga kata tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut; kata “man” dalam kaidah bahasa Arab merupakan “huruf syarat” yang berarti “siapa”. Dengan demikian siapapun orangnya, baik itu orang yang beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun ateis sekalipun; orang aborigin, negro maupun indian sekalipun; ketika dia bersungguh-sungguh (jadda) maka dia akan mendapatkan (wajada) apa yang dia harapkan. Sedangkan kata “jadda”, yang memiliki makna “bersungguh sungguh”, mengandung arti umum yang berarti kesungguhan dalam segi apapun, dalam hal-hal yang positif maupun negatif. Adapun kata “wajada” yang dalam kalimat tersebut merupakan “jawab syarat” dari huruf syarat “man” adalah sebuah implikasi atau hasil dari bersungguh-sungguh (jadda). Jadi, kesungguhan merupakan aspek penting yang menentukan seseorang dalam mendapatkan apa yang dicita-citakannya bahkan kesungguhan merupakan syarat untuk meraih kesuksesan.

Kata bersungguh-sungguh “jadda” dalam konsep Islam terkait dengan tiga istilah penting, yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah. Ketiga kata tersebut secara umum memiliki arti yang sama, yaitu “bersungguh-sungguh.” Hanya saja dalam aplikasinya, ketiga kata ini memiliki posisinya masing-masing, seperti jihad merupakan kesungguhan melalui fisik, ijtihad kesungguhan melalui akal pikiran dan mujahadah kesungguhan melalui hati. Apabila ketiganya sudah menyatu dan terintegrasi dalam diri seorang mukmin, maka akan terbentuklah pribadi yang tangguh yaitu ribadi yang dalam istilah tokoh intelektual muslim terkenal, Sir Iqbal, disebut sebagai al-insan al-kamil (manusia yang sempurna).


Banyak orang yang dalam meraih impiannya telah terinspirasi oleh makhfudzat singkat namun syarat makna ini. Mereka yang mau meresapi makna terdalam dari makhfudzat ini, akan mampu mencapai apa yang dicita-citakannya. Kita masih ingat sang penulis novel best seller Ahmad Fuadi yang menulis novel berjudul “Negeri 5 Menara”. Ketika dalam suatu wawancara di salah satu TV swasta, dia ditanya oleh sang moderator; apa yang membuat anda seperti sekarang sehingga anda dapat menelorkan sebuah karya non-fiksi sebagus ini? Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan nada mantap oleh sang penulis; semua ini tidak lain karena saya memiliki prinsip “man jadda wajada”. Dengan prinsip ini saya yakin bahwa apapun cita-cita kita, selama kita bersungguh sungguh maka kita akan mendapatkannya, tentunya juga dengan selalu mengharap dan berdoa kepada Allah Ta’ala, ungkap penulis yang pernah ditawari 8 jenis beasiswa sekaligus. Itulah salah satu kisah dari sekian banyak kisah orang yang meresapi, memahami, mendalami serta menjalani makhfudzat ini.

Dalam budaya Jawa, juga terdapat ungkapan yang cukup berkesan dan tentunya masih berhubungan erat dengan makhfudzat yang satu ini; “Sapa sing tekun, mesti bakal tekan senajan kudu nganggo teken”. Maksudnya, orang yang di dalam jiwanya sudah tertanam semangat ketekunan, maka dia akan senantiasa berusaha untuk mewujudkan apa yang dicita-citakannya, walaupun dia harus menggunakan tongkat agar sampai pada yang ditujunya itu. Ibarat seorang pendaki gunung. Ketika dia sudah berkomitmen di dalam dirinya untuk mendaki gunung, maka dia akan terus mendaki setapak demi setapak. Ketika di tengah perjalanan dia menghadapi berbagai macam rintangan dan hambatan, hal itu tidak menyulutkan nyalinya untuk tetap mendaki. Semak belukar, batu terjal dan berbagai macam kendala akan tetap dilaluinya walaupun dia harus berjalan terseak-seak dengan ditemani sebatang tongkat di tangannya. Itulah hakikat ketekunan yang tentunya tidak bisa lepas dari kesungguhannya untuk meraih harapannya agar sampai di puncak.

Ketika kita melihat orang berhasil dengan kesuksesan yang luar biasa, itu bukan berarti disebabkan mereka yang luar biasa, tapi dikarenakan mereka bersungguh-sungguh secara luar biasa. Namun sayangnya, kebanyakan dari kita terkadang hanya melihat mereka dari apa yang mereka dapatkan sekarang. Kita jarang menanyakan mereka yang dulu. Bagaimana mereka meraih kesuksesan yang seperti sekarang kita lihat. Untuk itu paradigma dan persepsi kita sudah seharusnya dirubah. Kita pelajari bagaimana mereka sukses bukan kesuksesan seperti apa yang mereka dapatkan.

Dan ketika kita mempunyai cita-cita serta harapan, maka ada satu hal yang harus dikerjakan yaitu kesungguhan dalam mewujudkannya. Kesungguhan di dalam proses tersebut akan menentukan hasil yang akan dicapai. Semakin besar kesungguhan maka akan semakin mendekatkan pada hasil. Namun sebaliknya, apabila kesungguhan tidak ada, tentunya tidak pantas untuk menunggu hasil.

Hidup yang tidak dilalui dengan kesungguhan dan perjuangan adalah hidup yang tidak layak untuk dilanjutkan. Karena kesuksesan berbanding lurus dengan kesungguhan dan perjuangan, maka tanpa keduanya tidak ada yang namanya kesuksesan. Wallahu a’lamu bish-shawwab.


Alex Nanang Agus Sifa

MEMAKNAI ARTI KETENANGAN


           Sebagai manusia, tentunya kita mengharapkan yang namanya ketenangan. Tidak ada seorangpun yang hidup di dunia ini kecuali menghendaki dirinya tenang. Banyak cara dan jalan yang ditempuh demi mendapatkannya. Bahkan seluruh keseharian manusia, gerak gerik hidupnya selalu berusaha mendekati sekaligus meraihnya.

          Tentunya, cara dan jalan yang ditempuh oleh setiap orang berbeda-beda, sesuai dengan ilmu serta pengetahuan yang dimiliki mereka. Ada yang menganggap bahwa dengan materi ketenangan dapat dicari. Mereka berusaha sekuat tenaga mengumpulkan materi demi memperoleh ketenangan sejati. Bahkan tidak sedikit yang menghalalkan segala cara demi materi yang mereka yakini dapat mengantarkan mereka ke dalam ketenangan sejati. Akan tetapi, setelah materi terkumpul, belum juga ketenangan muncul. Dengan demikian materi ternyata tidak dapat mengantarkan manusia sampai pada ketenangan sejati. Justru karena materi, tidak sedikit yang terperdaya sampai mati.

          Ada juga anggapan diantara mereka yang meyakini jika ketenangan dapat diraih dengan kekuasaan. Mereka menyusun rencana, strategi demi kekuasaan tertinggi. Mereka yakin jika kekuasaan telah diperoleh, maka ketenanganpun akan ditoreh. Namun, ketika kekuasaan sudah di genggaman tangan, ketenangan tak kunjung mereka dapatkan. Bahkan tak jarang kekuasaan itu mendorong diri mereka ke arah kedzaliman. Bukan hanya ketika kekuasaan tersebut sudah berjalan, tapi juga ketika masih dalam pencapaian. Sungguh, kekuasaan hanya akan menjadi malapetaka ketika diiringi ambisi untuk kepentingan dunia semata.


          Di sisi lain, ada juga yang meyakini bahwa ketenangan akan didapatkan ketika sudah mendapatkan pasangan. Mereka beranggapan bahwa dengan hadirnya pria atau wanita idaman, ketenangan akan dirasakan. Berbagai cara untuk mendapatkan pria atau wanita idaman pun dilakukan. Mulai dari bersolek, berdandan, bergaya yang kesemuanya itu tidak lain merias sekujur badan, mempertontonkan ketampanan maupun kecantikan. Bahkan, ada yang berlebihan dalam berpenampilan. Padahal penampilan yang berlebihan semakin menjauhkannya pada keaslian dirinya. Akhirnya, setelah pasangan yang didambakan sudah di depan pandangan, ketenanganpun tak kunjung datang.

          Lalu jika bukan dari materi, kekuasaan dan adanya pasangan, sebenarnya sesuatu semacam apakah yang dapat menjadikan seseorang itu merasakan ketenangan?

          Ternyata, jika direnungkan, ketenangan merupakan sesuatu yang abstrak, tak nampak oleh pandangan tapi dapat dirasakan. Ketenangan adalah rasa yang tak terlihat oleh mata. Seseorang tak dapat menilai orang lain itu sedang dalam keadaan tenang, karena dia tidak dapat merasakan apa yang sedang orang lain rasakan. Seseorang hanya dapat menilai orang lain dari fisik belaka. Sedangkan ketenangan merupakan rasa yang metafisik yang tak terlihat oleh mata.

          Ikhwati fillah, jika diri kita tenang karena banyaknya uang, maka sadarlah bahwa itu adalah kenyamanan yang tak panjang. Karena ketika uang telah habis atau hilang, maka ketenanganpun akan menyertai bersama habis dan hilangnya uang. Ketika kita merasa tenang dengan benda-benda keduniawiaan, maka ketahuilah bahwa itu hanyalah ketenangan tipu daya syaitan. Sedangkan syaitan hanya menjanjikan kefaqiran dan menyuruh berbuat kejahatan (asy-syaithanu ya’idukum al-faqra wa ya’murkum bi al-fahsya/QS. Al-Baqoroh: 268). Tidak sedikit manusia yang tertipu karena menuruti hawa nafsu dan termakan oleh bujuk rayu syaitan yang menggiurkan.

         Ikhwati fillah, ketenangan adalah rasa. Ia tak terlihat oleh mata tapi nyata adanya. Ia abstrak dan tak nampak. Hanya dapat dirasa oleh setiap hati yang terjaga mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan harta, tahta, wanita serta semua perhiasan dunia hanya akan mengantarkan kepada ketenangan ketika diiringi dengan bimbingan agama yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

         Ikhwati fillah, ketahuilah bahwa ketenangan sebenarnya hanyalah milik-Nya. Dialah yang menganugerahkan ketenangan sejati yang tak pernah mati. Hanya dengan mengingat-Nya, hati menjadi tenang dan jauh dari kebimbangan dalam mengarungi kehidupan. Tidakkah kita mengetahui akan firman-Nya: hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang”, (ala bidzikrillah tathmainnu al-qulub/QS. Ar-Ra’du: 28). Wallahu ‘alam bish-shawwab.

(artikel ini merupakan ringkasan dari kitab As-Sa’adah Al-Qushwa Fi Falsafati Ibni Maskawaih wa Thuruq Tahshiliha karya Dr. Thoha Abdus Salam Khudhoir).


Oleh:
Alex Nanang Agus Sifa

JALIN PERSAUDARAAN DENGAN SALING MEMAAFKAN




Saling memaafkan merupakan sesuatu hal yang sudah selayaknya menjadi akhlak bagi kita sebagai seorang muslim. Karena, saling memaafkan dapat melanggengkan hubungan ukhuwah islamiyyah diantara kita. Rasa ketersinggungan hati dan kekecewaan yang pernah terlintas di benak kita sesama muslim akan hilang dengan adanya sikap saling memaafkan.

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin sangat menuntut umatnya untuk sentiasa mudah meminta maaf dan mudah memberi maaf terhadap sesama saudaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak, mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Q.S. As Syura: 40)

Dari ayat di atas, nilai atau hikmah yang bisa kita petik adalah bahwa kita sebagai muslim diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membalas kedzaliman orang yang mendzalimi kita. Karena membalas kedzaliman dengan hal yang semisalnya merupakan bentuk pembelaan diri dan bukan sebuah dosa. Akan tetapi, ketika kita mau bersabar dan memaafkan orang yang mendzalimi kita, maka sesungguhnya hal yang demikian itu lebih utama. Artinya, ketika kita mau memaafkan orang yang telah berbuat aniaya atau dzalim terhadap diri kita maka kita akan memperoleh keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Inilah aturan Islam yang penuh dengan kasih sayang. Islam telah mengatur tatanan kehidupan manusia, yang salah satunya adalah dengan memerintahkan kepada manusia untuk saling memaafkan. Apabila kita sebagai pihak yang bersalah atau yang berbuat dzalim, maka sudah sewajarnya kita meminta maaf. Begitu juga sebaliknya, apabila kita sebagai pihak yang didzalimi, maka kita juga harus memberi kesempatan orang yang mendzalimi tersebut untuk meminta maaf dan kita siap untuk memaafkan.


Dalam Islam, meminta maaf bukan berarti sifat yang dimiliki oleh orang yang lemah sebagaimana persangkaan sebagian orang. Meminta maaf bukanlah merupakan kelemahan, justru kelemahan itu sendiri adalah seseorang yang menyembunyikan kesalahannya dan berlindung dibalik kesombongan dan bersikukuh dengannya. Orang yang meminta maaf adalah orang yang berani. Dikatakan berani karena dia mau mengakui kesalahan yang telah dia perbuat dan meminta maaf atasnya. Sedangkan orang yang memaafkan adalah masuk dalam golongan orang yang sabar, karena dia telah menahan dirinya untuk tidak membalas kedzaliman dengan kedzaliman dan dia mau memaafkan orang yang telah mendzaliminya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Maha Pengampun dan Pemaaf. Dia mengampuni dan memaafkan dosa dan kesalahan setiap hamba yang mau bertaubat kepada-Nya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala saja sebagai pencipta kita maha memaafkan bagi setiap hamba yang mau meminta maaf kepada-Nya, masa kita sebagai ciptaan-Nya tidak mau memaafkan saudara kita sesama muslim. Apalagi di dalam moment hari raya idul fitri. Sudah menjadi ajaran Islam memanfaatkan moment Idul Fitri untuk saling memaafkan, menjalin silaturahim, merapatkan kembali hubungan yang terenggangkan oleh masalah-masalah kehidupan.

Namun demikian, dalam Islam, saling memaafkan tidak hanya berlaku di hari raya Idul Fitri akan tetapi juga di hari-hari biasa. Karena, dalam satu tahun yg jumlahnya kurang lebih 365 hari, tentunya banyak diantara kita yang baik disengaja maupun tidak sengaja berbuat salah kepada orang lain. Untuk itu, tidaklah tepat jika kita saling memaafkan hanya satu kali dalam satu tahun. Meminta maaf tidak semestinya di hari raya saja karena kita tidak tahu apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memanjangkan umur kita untuk dapat berada di hari raya yang akan datang.

Oleh karena itu, marilah kita saling memaafkan dan jadikan ia sebagai amalan harian kita. Dengan tujuan, agar kita bisa masuk menjadi salah satu ciri orang yang bertaqwa (muttaqin) dan memasuki surga yang telah disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firmannya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang atau sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Imran: 133-134)


Oleh: Alex Nanang Agus Sifa

HARGA SEBUAH WAKTU


Waktu adalah sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan kita sebagai manusia. Ia tidak dapat ditukar dengan apapun. Ia juga tidak dapat kembali ketika sudah berlalu pergi. Waktu adalah kehidupan. Menyia-nyiakan waktu sama dengan membunuh kehidupan secara perlahan.

Waktu adalah sesuatu yang terpanjang, tetapi juga yang terpendek; yang tercepat, tetapi juga yang terlambat. Ketika kita tidak mengindahkannya, maka setelah itu kita hanya akan bisa menyesalinya. Tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan tanpanya. Ia menelan segala yang kecil dan membangun segala yang besar. Tanpanya, tidak ada kehidupan, karena setiap kehidupan, waktulah yang paling berperan.

Waktu disebut yang terpanjang karena ia adalah ukuran kehidupan, dan yang tersingkat karena ia dapat berlalu begitu cepat. Waktu terasa berlalu dengan cepat bagi mereka yang sedang merasakan kebahagiaan, namun akan terasa begitu lambat bagi mereka yang sedang dirundung kesedihan. Dengan demikian, waktu sangat bergantung bagaimana perlakuan seseorang terhadapnya.

Waktu merupakan unsur penentu kehidupan kita sebagai manusia, sehingga tidak ada yang dapat dilakukan tanpanya. Kita sekarang masih hidup, itu tidak lain karena kita masih dianugerahi waktu oleh sang Pencipta dan Pemilik waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Karena begitu penting dan mahalnya waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah: "Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang yang beriman, beramal saleh, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan saling nasehat-menasehati dalam kesabaran." (Qs. Al-'Ashr/103: 1-3).

Kaitannya dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ini, Imam Syafi’i mengatakan: لَوْ لَمْ يُنْزَلْ غَيْر هَذِهِ السُّوْرَةُ لَكَفَتِ النَّاس (seandainya Al-Qur’an tidak diturunkan kecuali surat (Al-‘Ashr) ini, maka hal itu sudah cukup memadai bagi manusia). Pernyataan Imam Syafi’I tersebut menandakan begitu pentingnya surat Al-‘Ashr yang berbicara masalah waktu, sehingga dapat mewakili isi kandungan Al-Qur’an.

Al-Qur’an juga memberikan perhatian khusus mengenai waktu. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang kali bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya: وَالْفَجْرِ، وَالضُّحَى، وَاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَالْعَصْرِ (Demi waktu fajar, Demi waktu Dhuha, Demi Malam, Demi Siang, Demi Waktu). Sungguh, begitu luar biasa perhatian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap waktu.


Dalam Islam, waktu bukan hanya sekadar lebih berharga dari pada emas (adz-dzahab) apalagi uang sebagaimana perkataan orang Barat “time is money”. Tetapi waktu adalah pedang, seandainya kita tidak bisa menggunakannya dengan baik maka kita akan terbunuh olehnya.   الوقت كالسيف فإن لم تقطعه قطعك(waktu ibarat pedang, jika engkau tidak memotongnya (menggunakannya), maka engkau yang akan terpotong olehnya).

Lebih dari itu, waktu adalah "kehidupan", sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan Al-Banna: الوَقْتُ هُوَ الْحَيَةُ (waktu adalah kehidupan). Seseorang yang tidak memanfaatkan waktu, berarti orang tersebut tidak memanfaatkan hidupnya. Orang yang menyia-nyiakan waktu, sama halnya dia menyia-nyiakan kehidupannya.

Dan menurutnya, kita sebagai manusia adalah kumpulan hari-hari, sebagaimana ungkapannya: يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ  فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ (Wahai Bani Adam, sesungguhnya engkau hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu). Dengan demikian, semakin bertambah hari, berarti semakin berkurang jatah waktu yang kita miliki. Untuk itu, tidak sepantasnya bagi seorang muslim membiarkan waktu berlalu sia-sia begitu saja. Melewatkan waktu berlalu tanpa ilmu dan melewatkan waktu berlalu tanpa amal yang bermutu merupakan sebuah kerugian yang membinasakan.

Pada dasarnya, waktu yang kita miliki terbagi menjadi tiga, sebagaimana yang diungkapan oleh Hasan al-Basri, yaitu: pertama, masa lalu yang tentunya sudah berlalu dan tidak mungkin akan kembali. Kedua, masa yang akan datang yang belum tentu kita rasakan. Dan ketiga, masa kini yang sedang kita jalani, dan masa yang ketiga inilah yang sebenarnya milik kita, maka kerjakanlah apa yang seharusnya kita kerjakan sekarang. (The life of this world is made up of three days: Yesterday, which has gone with all that was done; tomorrow, which you may never reach; but today is for you, so do what you should do today).


Jadi sejatinya, sekaranglah waktu kita, waktu dimana kita masih bisa hidup dan waktu dimana kita masih bisa berbuat, mengerjakan banyak hal yang bermanfaat. Karena kita tidak mengetahui, apakah kita masih memiliki hari esok. Ada sebuah mahfudzat Arab mengatakan  بَيْضَةُ اليَوْمِ خَيْرٌ مِنْ دَجَاجَةِ الغَدِ (telur hari ini adalah lebih baik dari pada ayam esok hari). Satu butir telur yang kita miliki sekarang adalah lebih baik karena jelas ada dihadapan kita, dari pada seekor ayam yang belum tentu menjadi milik kita di esok hari.


Sungguh, awal dari kehidupan kita bukanlah rencana kita, dan saat berakhirnya pun bukan keputusan kita, tetapi telah jelas bagi kita bahwa tugas kita adalah menjadikan waktu antara yang awal dan akhir itu sebagai sebuah perjalanan yang indah. Yang bisa kita capai dengan usaha serta upaya kita dan dengan bantuan yang penuh kasih dari Tangan Yang Tidak Terlihat (Invisible Hand), yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Untuk itu, mari maknai hidup kita dari sekarang, karena makna hidup yang sesungguhnya bukanlah berapa lama kita hidup, tetapi berapa efektif kita memanfaatkan waktu hidup. Dan pengisian waktulah yang membuat nilai hidup seseorang berbeda.

Tidak ada waktu yang tidak baik untuk memulai kebaikan karena semua waktu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang baik. Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat berharga. Memiliki waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan.

Penggunaan waktulah yang menjadikan pembeda hakiki antara sang pemenang kehidupan dan si pecundang kehidupan. Dan waktu terbaik untuk berubah dan memulai sesuatu yang baik adalah sekarang, sebelum datang masa penyesalan yang menyakitkan. Karena memang, waktu tidak bisa diperjual belikan. Ungkapan Arab mengatakan: يستطيع المال أن يشتري الساعة ولكن لا يستطيع أن يشتري الزمن (harta bisa membeli jam/arloji, tapi harta tidak bisa membeli waktu). Wallahu a’lam bish-shawwab.


Alex Nanang Agus Sifa

KUNJUNGAN KE MESIR



























































Dokumentasi Mesir 2017